Pages

 
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 November 2012

CAROG Budaya Madura kah ???

1 komentar

Carok, sebuah kata yang berasal dari Bahasa Madura yang selalu indentik dengan kekerasan, pembunuhan sadis, arogansi dan segala sesuatu yang bersifat negatif. Itu merupakan sebuah pemikiran lama yang sekarang harus kita tinggalkan. Karena pada dasarnya Carok Bukan hanya asal berkelahi tanpa sebab musababnya. Nah untuk lebih jelasnya mari kita ulas semua yang berhubungan dengan Carok itu sendiri.
Dari artikel teman yaitu http://www.tretans.com/ saya sangat ingin berbagi dalam mengulas masalah tersebut, karena pada intinya Madura Bukan Carok, untuk menguatkan Fakta itu mari kita pahami artikel di bawah ini.

Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata

Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran  dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.


Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang bias menjawab pasti.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Tragedi  Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit

Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin popular.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian, setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana  resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.


Pergeseran Budaya Carok

Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara  Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong yang ngawur.

Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90% masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.


Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan

Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modernt ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.

Carok Madura Sakera Madura
Sakera Madura

Sistim Pertarungan Ala Carok Madura

Bicara sistim pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai berikut :

  1. Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.

  2. Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara sungguh-sungguh

  3. Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.

  4. Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.

  5. Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.

  6. Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.

Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura | CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura, Ilustrasi by: gilasih.blogspot.com
http://www.tretans.com/

Senin, 10 September 2012

Regenerasi Pemerintahan Sampang Sejak 1478M Hingga Sekarang

0 komentar

Bagi teman-teman yang penasaran dan ingin mengetahui pemimpin Kabupaten Sampang dari tahun 1478M sampai sekarang, teman-teman bisa baca Refrensi yang kami sajikan ini, semoga bermanfaat.
Kamituwo di Madegan – Sampang : Raden Ario Lembu Petteng (1478) Raden Ario Menger Raden Ario Pratikel Raden Ario Pojok Penguasa Sampang (status sama dengan kerajaan kecil) : Adipati Pramono ……. – …….. Adipati Bonorogo ….. – 1530 Pangeran Sidhing Gili 1531 – 1592 Adipati Pamedakan 1592 – 1623 Adipati Merto Sari 1623 – 1624 Kerajaan Madura : Pangeran Cakraningrat I ( Raden Praseno, 1624 – 1648) Pangeran Cakraningrat II ( Raden Undakan 1648 – 1680), menjadi Raja Madura bagian barat berkeraton di Tonjung Kabupaten Bangkalan Pasca Kerajaan Madura (Penguasa Sampang) : Raden Ario Purbonegoro ( 1680 ) Raden Ario Purwonegoro Ganta’ Raden Ario Purbonegoro ( Raden Demang Panjang Suro ) Raden Tumenggung Purbonegoro / Minggu ( Gung Purbo ) Raden Ario Mloyo Kusumo ( Penguasa terakhir, berdiri sendiri) Zaman Penjajahan Belanda ( terhitung sejak 1 November 1885 ) : Bupati Pertama ( Tumenggung Ario Kusumoadiningrat 1884 – ……. ) Bupati Kedua ( Tumenggung Ario Condrokusumo …… – …… ) Bupati Ketiga ( Adipati Secoadiningrat ……. – 1913 ) Bupati Keempat ( Tumenggung Ario Suryowinoto 1913 – 1918 ) Bupati Kelima ( Tumenggung Ario Kertoamiprojo 1918 – 1923 ) Bupati Keenam ( Tumenggung Ario Sosrowinoto 1923 – 1931 ) Sampang berstatus kawedanan (1931 – 1942) Zaman Pendudukan Militer Jepang : Sampang dalam pendudukan jepang berstatus kawedanan (1942 – 1945) Wedana Raden Abdul Gafur Masa Kemerdekaan R.I 17 Agustus 1945 : Sampang berstatus kawedanan Wedana Raden Abdul Gafur Negara Madura (20 Februari 1948 – 4 Maret 1950) Sampang berstatus Kabupaten Bupati Raden Panji Muhammad Saleh Kusumowinoto (1948 – 1950) Kembali ke Pemerintahan R.I Madura bergabung dengan Negara Kesatuan R.I tanggal 9 Maret 1950 Sampang Berstatus Kabupaten : Bupati Pertama (RT. Moh. Iksan 1950 – 1952) Bupati Kedua ( R. Suharjo 1953 – 1956) Bupati Ketiga ( K.H. Achmad Zaini 1957 – 1959) Bupati Keempat (M. Walihadi 1960 – 1965) Bupati Kelima ( Faudzan Hafidz Suroso, B.A 1966 – 1971) Bupati Keenam (Jusuf Oenik 1971 – 1978) Bupati Ketujuh (Mursim 1978 – 1985) Bupati Kedelapan (Makbul 1985 – 1990) Bupati Kesembilan(R. Bagus Hinayana 1990 – 1995) Bupati Kesepuluh (Fadhilah Budiono, periode pertama 1995 – 2000) (periode kedua 2001 – 2006) Bupati Kesebelas (Noer Tjahja 2008 – sekarang) Sumber :

Disbudparpora Kab. Sampang

Rabu, 05 September 2012

" Madura Island " In English Review

0 komentar


Madura madukara derived from the word, the name of a god who was riding the cow which is jelamaan of the god Vishnu. Madukara was formerly deserted island without masters, mostly barren land into fertile top of dexterity and patience daughter Ayu Koneng government.
Putri Ayu Koneng Hindu. He likes to meditate and eat leaves and fruits. While the drink is made of turmeric and ginger seruas thumb that are put together. One time during the period of his hermitage, the princess dreamed of meeting the deity Vishnu, who gave him the gift of a baby in the womb Princess Koneng, This then makes him restless and agitated. Pregnant without a husband is a disgrace for him. He thought if the pregnancy was heard by the king, who was also his father the king bracelets. When hearing her pregnancy, the king became angry. In fact he did not want to know that the innocent is not his daughter. Kingdom bracelets itself is located in an area that remit includes Lamongan Gresik, Tuban, Edge Galuh (Surabaya). With the persuasion of the empress, then luluhlah heart of the king. Then the king said to his daughter was ostracized from his realm.
"O commander!," Cried the king. "I titahkan you brought my daughter out of the bracelets. And do not let her pregnancy was heard by my people, and then you come back to me "command of the king on his guard. After a long the way, on the edge of a beach the commander and the deputy saw the island of homeless. It was there and then the princess exiled.
But the commander felt sorry for the princess. Commander of the king's maker. In fact he brought his relatives to accompany the princess on the island. Princess koneng island Madukara name is none other than an adored figure of the god Vishnu. However, due to the tongue of the rigid at that time, the name madukara to Madura. Gradually, as many people who feel Ibah hello to the princess, many hijras people to the island. There juaga new pedatang from china and india live in pualu it!, The princess of land dividing the island of Madura with the commander. Bangkalan ground commander is empowered to become duke Bangkalan, daughter koneng build his empire in lacquer with royal names Nepa!. In rainy season the daughter entered the race racing cows pull a plow. This is a surefire way to enrich the soil and after the new land planted with rice, corn, etc..
Competition cow racing, then became a tradition of the nobility Madura. In its heyday, Nepa empire extending his rule until Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang, and partly with the help of Duke Bangkalan Probolinggo. At one time royal bracelets attacked by other kingdoms. And sent the commander to ask for help Nepa king awareness bracelets.
How was royal Nepa still has blood kinship. And with the help of the king of Nepa, royal bracelets can be maintained. Coming home from the war arena, King Nepa thinks otherwise, he has big plans to seize the rings. because he think with that he was more right than his uncle on the royal power. Sounds like another bersautan, with the vibrant spirit of the army be established desire to conquer the king of kings bracelets. Bertambahlah Nepa power to Tuban, Lamongan, Gresik.
Not long from the rule in these bracelets, with the help of another royal uncle King Nepa behind the attack. Feeling stuck and tired army, knew that he would lose against his uncle. The king Nepa asked the guards to rescue the royal family to the area Sumenep. He also asked if there was news that he had died on the battlefield, the Queen and the royal guards immediately burn istanah Nepe. This has become the philosophy of the Madurese who reads "bone white better than the white of the eye." Nepa End of empire is estimated to occur in the year 1266.
Madura is the name of the island located in the northeast of East Java. Madura magnitude approximately 5250 km2 (smaller than the island of Bali), with a population of about 4 million people.

Location Madura Island
Madura is divided into four districts, namely:
1. Bangkalan
2. Sampang
3. Pamekasan
4. Sumenep
This island includes the province of East Java and has a number of motor vehicle itself, the "M".
History
Politically, Madura for centuries been a subordinate local authority based in Java. Around AD 900-1500, the island was under the influence of the eastern Javanese Hindu kingdom of Kediri, Singhasari, and Majapahit. In between 1500 and 1624, the rulers of Madura to some extent dependent on the Islamic kingdoms in the north coast of Java, like Demak, Gresik and Surabaya. In 1624, Madura conquered by Mataram. After that, the first half of the eighteenth century Madura under Dutch colonial rule (from 1882), first by the VOC, then the Dutch East Indies government. At the time of the division of the province in the 1920's, Madura became part of the province of East Java.
Economy
Overall, including Madura one of the poorest in the province of East Java [2]. Unlike Java, Madura soil less fertile enough to be used as a farm. Other limited economic opportunities has led to unemployment and poverty. These factors have resulted in long-term emigration of so many current Madura Madurese people do not live in Madura. Residents Madura including most transmigration program participants.
Subsistence agriculture (small scale to survive) is the main economic activity. Maize and cassava are the main crops in subsistence agriculture in Madura, scattered in many small holdings. Cattle are also an important part of the agricultural economy of the island and provide additional income for family farmers is important for activities other than karapan cows. Small-scale fisheries are also important in the subsistence economy there.
Crop cultivation is the most commercially in Madura tobacco. Land on the island of Madura, as this helps to make important producer of tobacco and clove cigarettes for the domestic industry. Since the Dutch colonial era, Madura has also become a major producer and exporter of salt.
Bangkalan located at the western end of Madura has undergone industrialization since the 1980s. The area is easily accessible from Surabaya, Indonesia's second largest city, and thus plays a suburb for commuters into the city, and as an industrial location and services needed close to Surabaya. Longest bridge that has been in operation since June 10, 2009, is expected to increase interaction with the regional economic Bangkalan area.
Culture
Madura is famous for its culture Karapan cow.

Karapan cows in Pamekasan, Madura.

List of figures Sakera

Sakera is a born fighter legend Bangil in Pasuruan, Indonesia. He fought against Dutch colonialism around the beginning of the 19th century. Sakera sadalah a local hero, who defied a dictator Dutch Bangil sugar plantation in the area. Sakera whiz-whiz as well as other areas Dutch captured after being betrayed by one of his own. He was buried in the Bekacak, Village Kolursari, the area south of the town Bangil. Madura bloody hero legend is very popular in East Java.
Sakera was a hero who was born in the village Raci Bangil City, Pasuruan, East Java, Indonesia. He fought against Dutch colonialism in the early 19th century. Sakera sadalah a local hero against the Dutch colonialists in sugarcane plantations Mas Bangil hare. Bangil bloody hero legend is very popular in East Java and Madura especially in Pasuruan.
History Sakera


Sakera real name Sadiman who works as a foreman at a sugar plantation owned sugar mills Mas Bangil deer. He is known as a foreman for a kind and very concerned about the welfare of the workers to dubbed Mr. Sakera. One day after the milling season is finished, the sugar factory requires a lot of new land to plant sugar cane. Because the interests of the Dutch company's ambitious leadership wants to buy plantation area-wide with cheap-price murahnya.Dengan cunning way the Dutch were ordered to strip Apex can provide new land for the company in the short term and cheap, and by promising raise the expectations of wealth and riches to strip Apex willing to fulfill that desire. Carik Apex uses violent means to the people of the land sought for the company. Sakera see this injustice try always to defend the people and the many failed attempts to strip Rembang. Carik Rembang report this to corporate leaders. Corporate leaders angry and sent his deputy Mark to kill Sakera. One day at the plantation workers were resting, Markus angry and punish the workers as well as challenging Sakera. Sakera that a report it is angry and kill Mark and guard in the garden cane. Since then Sakera become fugitives Dutch Government. Once when Sakera visiting his mother's house, where he was beaten by police and Dutch Rembang strips. Because the mother was threatened with death Sakera then Sakera ahirnya surrender, Sakera Bangil in jail. Torment by Dutch police torture to Sakera every day. for jailed Pak Sakera always missed by family at his home, Sakera have a very beautiful wife named Marlena and a nephew named Brodin. Unlike Sakera with big hearts, Brodin is a mischievous boy who likes to gamble and secretly eyeing Sakera wife Marlena. Brodin repeatedly attempted to close to Marlena. While there Sakera prison, Brodin managed affair with Marlena. When the news reached the ears Sakera Sakera angry and escapes from prison. Brodin was killed Sakera. Then Mr. Sakera revenge is consecutive, starting Carik Rembang killed, followed by a purge officials who extort people's estates. Even the police chief Bangil was hacked by hand with his trademark weapon 'sickle' when trying to catch Sakera. By the devious Dutch police also went to a friend seperguruan Sakera named Aziz to seek Pak Sakera weaknesses. With the lure of riches will be rewarded by the Dutch Government in Bangil Aziz Sakera trap by holding tayuban, knowing Sakera most happy event tayuban Sakera finally was caught and overpowered knowledge degan punch [[bamboo lear]]. Again, the Dutch succeeded Mr. Sakera mernangkap back later tried by the Government and it was decided to Bangil hanged. Sakera fall Bangil hanged in prison and he was buried in Bekacak, Kolursari Village (the area south of the city Bangil).
TRADITIONAL MUSIC (MADURA) Daul'' UL''



There stroller, kenong, gongs, drums, flute, barrels, and other traditional musical instruments. In each instrument, one man stood drummers that number could reach twenties whole people or more. Each instrument is mounted on a stroller that has a variety of shapes and colors. And those who stood menabuhnya walk in the stroller with the hole at the bottom. That music Ul Daul, new music typical of Madura.
Certainly no one knows when Ul Daul was formed and where it originated where original music, whether or Sumenep Pamekasan. Music is known only emerging five years. Starting from the street music group whose activities are waking people at night, especially in the month of fasting.
Subsequent developments, the instruments used and start growing improved with a better design. First, as a musical instrument drum bass work, the material used plastic container barrels of fish fed ex truck tire rubber. While kenong that have sound gerincing made from the cut sheet metal and arranged in hollow logs. Other tools such as a hollowed bamboo drums a bit on the side.
At first the music was not using a stroller. The musicians bring their own instrument. However, since a few years ago made the train but to also increase the ease of this exotic percussion. The design is diverse, ranging from dragons, peacocks, chickens ranged, and others. Exoticism stroller is growing as the drummer wearing uniforms. Uniforms were selected from typical local color elements, such as custom clothing and dress Sakera.
Music is usually performed on festive occasions such as mantenan, circumcision, khotmil qur'an, celebration increases class, Agustusan, and so on. Not only in Madura music also appeared in an official ceremony in the state as well as several events abroad. Yes, despite emerging yet been able to go international.
Daul Ul characterized, music and of course the smart stroller. So, some time ago Pamekasan want to patent this music as one of the musical wealth of the typical Madura. Today, the number has Daul Ul music very much. They are mostly spread in three districts, namely Sumenep, Pamekasan and Sampang. The emergence of these groups are supported by the growing proliferation of pilot events that melombakan music.
To be able to watch Ul Daul people have to spend a sum of around Rp. 1-1.5 million.
Prominent Origin Madura
Prominent Legend
Adi Poday, Panembahan Blingi second son, Ario Palangjiwo holds a legendary figure who likes to meditate and do spiritual marriage with Potre Koneng and dkaruniai two children namely Jokotole and Jokowedi
Potre Koneng, aka Goddess Saini grandson of Prince Bukabu in Sumenep
Jokotole first child and marriage Adi poday Potre koneng found white bulls were fed in a cowshed belonging MPU Kelleng who eventually became his stepfather. The place where there is a cowshed later became the name of this village in the Village Pekandangan daesah.
Jokowedi
Kelleng MPU, a blacksmith from the village Pekandangan District Bluto Sumenep
Sakera: is a local hero, who defied a dictator Dutch Bangil sugar plantation in the area, which was eventually sentenced to death by the colonial Dutch.
Trunojoyo
To the vanished
Prominent kingdom
Central Prince 1592-1621. Brother of:
Prince Mas 1621-1624
Prince Praseno prince Ningrat I Tjokro in 1624-1647. Children of Central and father of:
Prince Tjokro in Ningrat II 1647-1707, Panembahan 1705. Father of:
Raden Temenggong Sosro in Ningrat Prince Tjokro in Ningrat III 1707-1718. Brother of:
Raden Temenggong Suro in Ningrat Prince Tjokro Ningrat IV in 1718-1736. Father of:
Raden Duke Sejo Adi Ningrat I Panembahan Tjokro in Ningrat V 1736-1769. Grandfather of:
Raden Duke Sejo Adi Ningrat II Panembahan Duke Tjokro in Ningrat VI 1769-1779
Duke Panembahan Tjokro in Ningrat VII 1779-1815, Sultan 1808-1815 Bangkalan. Children of Tjokro in Ningrat V and Father of:
Tjokro in Ningrat VIII, Sultan Bangkalan 1815-1847. Brother of:
Panembahan Tjokro in Ningrat IX, Sultan Bangkalan 1847-1862. Father of:
Panembahan Tjokro in Ningrat X, Sultan Bangkalan 1862-1882.
Raden Aria Wiraraaja: is: Founder of work Majapahit
Prominent Ulema / Kyai
KH.Syaikhona Kholil: NU founding principal architect Madura cleric, the late Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil a teacher NU clerics since the first batch Hadratus cleric Shaykh As'ad Hasyim to Syamsul Arifin.
Kiai Pragalbo Th .... -1531. Father of:
Kiai Pratanu Panembahan Weak Duwur 1531-1592. Father of: Central Prince 1592-1621. Brother of Prince Mas 1621-1624
Tidjanie KH Ahmad Jauhari, Secretary Rabithah Al-Alam Al-Islami, Mecca is also Chairman of Al Amin Madura Boarding Schools
KH Alawie, chaplain of Sampang
KH. Bahaudin Mudhary, East Java MUI chairman, author of the book Dialogue Divinity of Jesus
KH. Badrie Masduki, NU leaders
Heroes of Madura
PangeranTrunojoyo
Abdul Halim Perdana Kusuma (born in Sampang, Madura, 18 November 1922)
 Prominent Officials of the Republic of Indonesia
Mahfud, MD, Prof. : Chairman of the Constitutional Court
Hadi Purnomo: Chairman of the Board Audit
Herman Widyananda, DR. SE., M.Sc.: Vice Chairman of the Board Audit
Official figures Kabibinet Minister of the Republic of Indonesia
Soemarno Sosroatmodjo for the period 1960 - 1964 and 1965 - 1966, the Minister of the Interior and the Governor of Jakarta:
Rachmat Saleh: Trade Minister
Wardiman Joyonegoro, Prof.DR.Ing. Minister of Education and Culture
R.Hartono, Interior Minister General
Djamaludin Suryohadikusumo, Minister of Forestry
Nur Mahmudi (MCC Chairman), the Minister of Forestry
Ministerial Leaders
Rahmat Saleh: Governor of Bank Indonesia
Majid: Chairman BPS RI
Soedjono Chanafiah Atmonegoro, SH: Attorney General
Figures as Governor
Moch.Noer: Governor of East Java
Soemarno Sosroatmodjo: Jakarta Governor
Prominent in the Military
R.HARTONO, Chief of Staff of the Army (Army Chief of Staff)
Muhammad Arifin, Chief of Naval Staff (KSAL)
Hanafie Asnan, Chief of Staff of the Air Force (KSAU)
Banurusman, Chief of Police (Chief National Police)
Roesman Hadi, KAPLRI
Arie Sadewo, Army Gen., Deputy BIN
Leaders in the World of Education and Research
Ichlasul Amal, Rector of Universitas Gadjah Mada
R. Achmady, Rector of UB (Ichlasul sister Amal)
Afnan Troena, UB Rector
HR Soedarso Djojonegoro, Rector of the State University of Airlangga
M.Iksan Semaoen, Madura State University Rector Tronojoyo
Nurcholish Madjid, Cak Nur (father Bangkalan Madura), Chancellor and Founder Paramadina University
HM Rachimoellah, Professor at the Institute of Technology, November Surabaya:
Mien Ahmad Rifai, Professor of IPB, inventor of more than 100 New Plants) Expert Mr. Mushroom Indonesia (principal investigator)
Iwan Azis Djaya father Aziz, owner Surabaya Post
Iwan Jaya Azis, Professor and Director of the Graduate at Cornell University
Syairul Alim, Professor of Physics College of Gajah Mada
Riswandha Imaw, Professor of Political Science, University of Gajah Mada
Mochtar Mas'ud, Professor of Economics UGM
Educate Junaidi Rachbini, Prof.DR, an economist and politician PAN:
Faisal Ismail, Professor IAIN Yogyakarta and Ambassador in Kuwait
Latif Wiyata (CERIC Univ. Jember - Cultural Anthropologist Madura)
 Prominent Culture / Artists Madura
Abdul Hadi, WM
Kadarisman Sastrodiwiryo
D. Zawawi Imron (sickles Gold)
Sahid Kelana (father Handa Band The Big Kid, Imaniar brothers) Artist Trumpets Madura received his death
Adrian Pawitra, dictionary maker Madura to Indonesian and Indonesian to English Madura
Agus Hadi Sudjiwo / better known Sudiwo Tejo, (born in Jember, East Java, August 31, 1962 Descendants of Madura based personal recognition, many people in this area maduranya)
D Jamal Rahman, Chief Editor of Magazine Culture Horison

by Roostien Ilyas & Yusuf Rizal
Translated by pulaumadura.com

Senin, 16 Juli 2012

MERCUSUAR BANGKALAN

0 komentar
Mercusuar Sembhilangan atau Alat bantu navigasi dalam pelayaran sangat penting dan banyak membantu para pelaut Pada masa penjajahan hingga sekarang. Tapi selain itu Mercusuar ini juga mempunyai nilai sejarah dan daya tarik wisata sejarah Di Bangkalan. Mercusuar yang di bangun oleh Kerajaan belanda dan dibangun oleh Z.M. WILLEM III pada tahun 1879 ini memiliki ketinggian lampu atau focal plane setinggi 53 meter, dengan 1 buah lampu yang berpedar setiap 10 detik dengan jangkauan cahaya sejauh 50 meter. Menara berbentuk poligonal dengan 12 sisi yang terbuat dari plat besi baja dengan ketebalan dan kandungan timah yang sungguh menakjubkan. Menara ini memiliki 16 ruang lantai dan 1 lantai khusus ruang lentera. Setiap lantai terhubung dengan tangga melingkar dan masing – masing lantai terdapat dua jendela. Menara memiliki kolom penyangga yang juga terbuat dari besi baja dan tembus terhubung sampai lantai 16 dimana terdapat panel pengoperasian lampu. Dahulu kolom penyangga ini digunakan sebagai tempat mengerek karbit atau minyak tanah ketika masih belum ditemukannya lampu pijar. Sekarang sudah tidak lagi digunakan karena telah memakai kabel listrik sehingga penjaga mercu suar cukup menyalakan lampu dari lantai bawah saja. Setiap bagian pelat baja terdapat penomeran secara horizontal dengan 4 rangkaian pelat setiap lantainya.

Saat ini kondisi mercu suar masih berfungsi dan dikelola dengan baik oleh Adpel Tanjung Perak meskipun penuh coretan vandalis dan jendela – jendela yang kurang terawat. Tangga menuju lantai 14 telah hilang dan diganti dengan tangga panjat. Bagian panel kayu yang hanya melingkupi dinding lantai 16 mulai lapuk dimakan usia. Namun secara keseluruhan besi baja sungguh menakjubkan masih kokoh berdiri tanpa dimakan usianya yang sudah 130 tahun lebih. Di sekeliling menara terdapat bangunan rumah - rumah kecil yang difungsikan sebagai tempat tinggal penjaga dan gudang. Saat ini, mercusuar dijaga oleh 3 orang penjaga berstatus PNS Adpel. Lingkungan mercusuarnya dikelilingi oleh hutan bakau yang indah dan terdapat beberapa perumahan penduduk desa.
Jika anda tertarik untuk memasuki kawasan ini, anda cukup membayar Rp.2000 di pintu masuk. Yah sebagai uang jasa dan membantu perekonomian dan perawatan lingkungan sekitar. Dan jika anda ingin melihat pemandangan dari puncak menara ada bisa naik dengan membayar  Rp.2000.

Tapi sayang , tangan - tangan jahil merusak keindahan tempat ini, corat-coret sana sini, sampah yang berserakan merupakan hal yang patut kita sayangkan. Apalagi tempat ini merupakan salah satu tempat bersejarah di kota Bangkalan. jadi " Jadi Mari Kita Jaga Dang Jangan Kita salah Gunakan "

Sabtu, 14 Juli 2012

SEJARAH PULAU MADURA

2 komentar
DICERITAKAN bahwa pulau Madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan beberapa puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat itu diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger di daerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.
Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Gilling Wesi. Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang Madura dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929 Masehi.
Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Raja tadi amat marah dan memannggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih di Kerajaannya.
Maka berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat di dalam hutan belantara, maka Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut terjatuh ke tanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama menjadi Kijahi Poleng (Poleng artinya dalam Bahasa Madura yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa bilang Getek).
Sebelum Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.
Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju “Madu Oro” (pojok di ara-ara) artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu dari perkataan “Lemah Dhuro” artinya tanah yang tidak sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.
Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya Pamekasan.
Pada suatu ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama “Raden Segoro” (Segoro artinya lautan). Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan membawa makanan atau buah-buahan.
Diceritakan bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang seolah-olah cahaya rembulan, maka mereka akan berhenti untuk berlabuh ditempat itu (Geger Madura) dan akan membuat selamatan makan minum disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.
Setelah berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaan tersebut. Kemudian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga raksasa tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama “Kijahi (si) Nenggolo” dan satunya diberi nama “Kijahi (si) Aluquro”
Pada usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa atau Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap rumah, yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti klobot). Desa tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.
Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina. Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.
Keesokan harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampainya di Madura, Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo.
Kijahi Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar “Raden Segoro alias Tumenggung Gemet” yang artinya semua musuh apabila bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)
Raja Sanghiangtunggal berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.
Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta rumahnya yang disebut dengan sebutan Kraton Nepa.
Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong di dalam peperangan.
Diceritakan pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong) Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka Bangkalan.
Dikutip dari :
Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya
Oleh: R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)
Madura Bukan Carok
http://tretans.com/asal-usul-pulau-madura

Selasa, 03 April 2012

JOKO TOLE | SECODININGRAT KE III |

1 komentar
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole dan adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati.

Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA. Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.

Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badannya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri.

Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas kehendak Brawijaya VII.

Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.

Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA. Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III.

Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.


Dikutib dari :
Buku Makam Kuno “AERMATA” di Arosbaya Bangkalan.
Oleh :
Agus Dwi Tjahjana

Minggu, 11 Maret 2012

PENGHAPUSAN KERAJAAN BANGKALAN

0 komentar
Pemerintah Hindia Belanda memang sengaja lambat laun menghapuskan kerajaan-kerajaan di Madura, pertama ialah kerajaan Pamekasan dihapus yang terjadi pada tahun 1858 dan berikutnya kerajaan Sumenep menerima gilirannya ialah dihapuskan dalam tahun 1885. Menurut ketentuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikuatkan oleh rajanya antara lain sebagai berikut :
  1. Karena pencabutan vorsten bestuur (pemerintahan kerajaan) di Madura, maka Kabupaten Bangkalan dan Sampang didirikan langsung dibawah Residen Madura.
  2. Anggota keluarga Kerajaan yang dahulunya mempunyai tanah-tanah apanage, dicabut dan diganti dengan uang     kerugian sebanyak taksiran hasil tanahnya,
  3. Menteri-menteri Kerajaan yang mendapat tanah pecaton, dicabut dan diganti dengan uang kerugian.
  4. Upacara-Upacara Kerajaan Madura diambil oleh Pemerintah Belanda dan disimpan di Museum Jakarta.
  5. Barisan Madura tetap diadakan, tetapi langsung dibawah pimpinan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah itu diangkatlah sebagai Bupati Pertama ialah Pangeran Surjonegoro kemudian dengan gelar Pangeran Tjokroadiningrat untuk Bangkalan, dan Raden Ario Kusumoadiningrat (Kandjeng Ronggo) untuk Sampang.

Selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda menganggap Keraton Bangkalan sudah rusak tidak dapat didiami lagi, lalu didalam tahun 1891 dibongkar dan diganti dengan rumah Kabupaten yang sampai sekarang masih ada. Tindakan pembongkaran keraton itu hanya sebagai siasat politik Belanda agar supaya rakyat tidak mempunyai kenang-kenangan akan kebesaran pemerintahan leluhurnya, sebelum dijajah oleh Belanda.

Dalam tahun 1905, Bupati pertama Bangkalan (Pangeran Tjokroadiningrat) mengundurkan diri dengan pensiun (setelah meninggal juga dimakamkan dibelakang masjid Bangkalan) dan diganti oleh puteranya bernama Raden Adipati Ario Surjonegoro ia mengundurkan diri dengan hak pensiun pula dalam tahun 1918 an diganti oleh adiknya bernama Raden Tumenggung Ario Surjowinoto. Sebelum Surjowinoto menjabat Bupati Bangkalan, ia sudah menjabat Bupati Sampang dalam tahun 1913.

Dalam tahun 1920, ia sudah mendapat gelar Raden Ario Tjakraningrat. Didalam zaman pendudukan jepang ia diangkat menjadi wakil Residen Madura (Wakil Sju Tjokan), disamping ia menjabat Bupati Bangkalan. Setelah negara Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka ia diangkat menjadi Residen Madura.

Puteranya yang tertua ialah Raden Tumenggung Ario Muhammad Zis Tjakraningrat menggantikannya menjadi Bupati Bangkalan. Setelah R.A Moh. Zis Tjakraningrat dipindah, maka R. Moh. Roeslan Wongso Koesoemo ditunjuk sebagai Bupati Kepala Daerah Bangkalan 1956-1959. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957, K. Brodjo Koesumo dipilih sebagai Bupati Daerah T.K II Bangkalan.

Setelah UU No 1 Tahun 1959 dibekukan dan diganti dengan Pempres No. 6 Tahun 1959 maka R.P. Moh. Noer terpilih sebagai calon tunggal dan diangkat sebagai calon Bupati kepala Daerah Kabupaten Bangkalan tahun 1959 sampai 1965.

Setelah R.P Moh. Noer diangkat sebagai Pembantu Gubernur Kepala Daerah propinsi Jawa Timur untuk bekas keresidenan Madura maka diadakan pemilihan lagi dan Drs. R. Abdul Manan Prijonoto dipercayakan untuk menggantikan sebagai Bupati kepala Daerah Kab. Bangkalan. Ia tidak lama menjabat Bupati, lalu Pemerintah Pusat memandang perlu untuk membebastugaskan dan ia ditempatkan kembali sebagai Pegawai Tinggi di Departemen Pertanian.

Untuk sementara waktu ditunjuk R.P. Machmoed Sasroadipoetro (Pembantu Gubernur untuk Madura) sebagai pejabat Bupati kepala daerah Kab. Bangkalan sampai ada gantinya. Dalam tahun 1971 pencalonan Kepala Daerah telah dilaksanakan oleh DPRD-GR Kabupaten Bangkalan dan Eddy Soedjaki ditetapkan dan diangkat sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bangkalan (Eddy Soedjaki sebetulnya Jacky Soedjaki).


Dikutip dari :
Buku Selayang Pandang Sejarah Madura
Oleh :
DR. Abdurrahman
Bangkalan-Memory

Sabtu, 10 Maret 2012

NAMA RAJA DAN BUPATI YANG PERNAH MEMERINTAH DI BANGKALAN

2 komentar
Sepeti yang kita tahu, Bangkalan merupakan Kabupaten yang dulunya berupa Kadipaten yang diperintah oleh seorang Raja. Nah bagi temen-temen yang belum pernah tahu dan yang ingin tahu Siapakah Raja dan pada tahun berapa masa pemerintahannya mari kita flashback sejenak dan melihat daftar di bawah ini :

NAMA RAJA YANG MEMERINTAH DI KABUPATEN BANGKALAN
Tahun 1531 – 1592              :    Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 – 1621              :    Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 – 1624              :    Pangeran Mas
Tahun 1624 – 1648              :    Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 – 1707              :    Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 – 1718              :    R.T. Suroadiningrat (Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 – 1745              :    Pangeran Sidingkap (Pangeran Caraningrat IV)
Tahun 1745 – 1770              :    Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 – 1780              :    R.T. Mangkudiningrat  (Penembahan Adipati Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 – 1815              :    Sultan Abdu /  Sultan Bangkalan I (Penembahan Adipati Cakraadiningrat VII)      
Tahun 1815 – 1847              :    Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 – 1862              :    R. Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 – 1882              :    R. Ismael (Panembahan Cakrasdiningrat VIII)

Kalau diatas kita telah menyimak siapa saja dan kapan Raja-Raja yang pernah memerintah di Bangkalan. Sekarang mari kita melihat siapa sajakah Bupati yang pernah memimpin dan kapan bliau memegang tampu kekuasaan silahkan di lihat daftar di bawah ini :

NAMA BUPATI YANG MEMERINTAH DI KABUPATEN BANGKALAN
Tahun 1882 – 1905              :    Pangeran Suryonegoro (Bupati I)
Tahun 1905 – 1918              :    R. AA Suryonegoro (Bupati II)     
Tahun 1918 – 1945              :    R. AA Suryowinoto / Wali Negara (Bupati III)
Tahun 1945 – 1956              :    Mr. R.A. Moh. Zis Cakraningrat (Bupati IV)
Tahun 1956 – 1957              :    R.A. Moh. Roeslan Wongsokusumo (Bupati V)
Tahun 1957 – 1959              :    R.A. Abd. Karim Brodjokusumo (Bupati VI)
Tahun 1957 – 1959              :    R.A. Abd. Karim Brodjokusumo (Bupati VI)      
Tahun 1959 – 1965              :    R.P. Moh. Noer (Bupati VII)
Tahun 1965 – 1969              :    Drs. Abd. Manan Priyonoto (Bupati VIII)
Tahun 1969 – 1971              :    R.P. Machmud Suroadiputro (Bupati IX)
Tahun 1971 – 1982              :    HJ. Sudjaki (Bupati X)     
Tahun 1982 – 1988              :    Drs. Sumarwoto (Bupati XI)
Tahun 1988 – 1991              :    Drs. Abdul Kadir (Bupati XII)
Tahun 1991 – 1993              :    Drs. Ernomo (PTHJ Bupati)
Tahun 1993 – 1998              :    M. Djakfar Syafei (Bupati XIII)     
Tahun 1998 – 2003              :    Dr. Ir. H. Mohammad Fatah, MM
Tahun 2003 – 2013              :    R.K.H. Fuad Amin, SPd

Nah informasi di atas semoga bermanfaat untuk teman-teman yang Cinta Dengan Kota Bangkalan tecinta ini.

courtesy by : Bangkalan-Memory