Carok, sebuah kata yang berasal dari Bahasa Madura yang selalu indentik dengan kekerasan, pembunuhan sadis, arogansi dan segala sesuatu yang bersifat negatif. Itu merupakan sebuah pemikiran lama yang sekarang harus kita tinggalkan. Karena pada dasarnya Carok Bukan hanya asal berkelahi tanpa sebab musababnya. Nah untuk lebih jelasnya mari kita ulas semua yang berhubungan dengan Carok itu sendiri.
Dari artikel teman yaitu
http://www.tretans.com/ saya sangat ingin berbagi dalam mengulas masalah tersebut, karena pada intinya Madura Bukan Carok, untuk menguatkan Fakta itu mari kita pahami artikel di bawah ini.
Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata
Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara
harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok
(dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk
Clurit Emas dari
Sumenep,
Carok merupakan satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli
dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir
sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau
musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga
diri.
Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang
(dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung
malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok
ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah
harus dibayar darah.
Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri
diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir
yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain.
Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia
terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan
tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil
istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang
punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.
Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika
mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan
melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut
dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat
sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa
kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk
membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk
penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal
yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus
memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia
masuk penjara atas namanya.
Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang
pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak
mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide
(1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau
kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya
mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya
prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang
didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel
hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang
dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada
masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura,
juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan
Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama
sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.
Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat
menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang
dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang
memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana
banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.
Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri
merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir
menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai
balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa
itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata
Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan
kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.
Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki
filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa
dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu
ingin tahu.
Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan
Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah
penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang
pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang
mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial
Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat
jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak
sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk
menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut
menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah
sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang
bias menjawab pasti.
Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal
dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain
yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika
itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit
rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat
jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk
menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah
yakni Carok dan Clurit.
Tragedi Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit
Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini
terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang
membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban
banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media
tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat
Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak
pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang
Madura sendiri.
Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili
Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili
Sampang.
Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam
ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik
dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok
dan senjata Clurit makin popular.
Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan
Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain
cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga
keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.
Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah
yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman
dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah
perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai.
Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung
dendam pada keluarga berikutnya.
Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu
setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus
dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit
mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua
akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang
pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap
antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian,
setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh
asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau
tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya.
Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban
jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga
mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang
terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.
Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk
membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana resimen 35 Joko
Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang
dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan
pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko
Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan
antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak
sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata
ala kadarnya.
Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari
peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968
hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai
bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya.
Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat
Madura.
Pergeseran Budaya Carok
Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara Madura telah
bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung
terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan
secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan
yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan,
seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan
keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda
tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang
(Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun
silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya
tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya
1993).
Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya.
Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak
berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok
sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk
penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang
sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar
kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.
Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi
apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran
pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau
saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap
terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau
keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena
itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang
lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.
Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang
panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah
yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi
kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya
demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang
kadang suka ngomong yang ngawur.
Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus
yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih
uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan
clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan
tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.
Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin,
namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan
di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90%
masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren
ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi
penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek
masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan
azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang
terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target
yang akan dibunuh.
Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat
madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga,
menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya
bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi
lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai
ditinggalkan oleh generasi mudanya.
Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan
Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu
utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di
daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan
pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga
Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di
Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi
disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai.
Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada.
Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal
yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh
lebih modernt ketimbang daerah lainnya.
Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara
saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut,
yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka
mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling
membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang
merupakan pengikat dari kumpulan ini.
Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena
apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa
satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari
otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari
penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul
permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan
tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan
tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya
lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan
memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian
membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut
bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru
sebaliknya menambah permasalahan baru.
Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura.
Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan
Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski
kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang
terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.
Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’
dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang
paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk
mencari keuntungannya sendiri.
Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum
blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat
pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan
seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas
lurah
Madura.
|
Sakera Madura |
Sistim Pertarungan Ala Carok Madura
Bicara sistim pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian
yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara
sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara
langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan
oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai
berikut :
- Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.
- Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari
depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar
saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara
sungguh-sungguh
- Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.
- Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.
- Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.
- Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.
Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura |
CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura, Ilustrasi by: gilasih.blogspot.com
http://www.tretans.com/