Pages

 

Jumat, 02 November 2012

CAROG Budaya Madura kah ???

1 komentar

Carok, sebuah kata yang berasal dari Bahasa Madura yang selalu indentik dengan kekerasan, pembunuhan sadis, arogansi dan segala sesuatu yang bersifat negatif. Itu merupakan sebuah pemikiran lama yang sekarang harus kita tinggalkan. Karena pada dasarnya Carok Bukan hanya asal berkelahi tanpa sebab musababnya. Nah untuk lebih jelasnya mari kita ulas semua yang berhubungan dengan Carok itu sendiri.
Dari artikel teman yaitu http://www.tretans.com/ saya sangat ingin berbagi dalam mengulas masalah tersebut, karena pada intinya Madura Bukan Carok, untuk menguatkan Fakta itu mari kita pahami artikel di bawah ini.

Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata

Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran  dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.


Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang bias menjawab pasti.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Tragedi  Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit

Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin popular.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian, setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana  resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.


Pergeseran Budaya Carok

Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara  Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong yang ngawur.

Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90% masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.


Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan

Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modernt ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.

Carok Madura Sakera Madura
Sakera Madura

Sistim Pertarungan Ala Carok Madura

Bicara sistim pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai berikut :

  1. Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.

  2. Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara sungguh-sungguh

  3. Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.

  4. Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.

  5. Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.

  6. Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.

Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura | CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura, Ilustrasi by: gilasih.blogspot.com
http://www.tretans.com/

Rabu, 31 Oktober 2012

PANTAI SLOPENG |Sumenep-Madura|

2 komentar

Ketika anda ingin berlibur di pantai, anda jangan hanya berkiblat pada pantai-pantai di Bali yang terkenal bagus dan indah, Kuta, Sanur, Dream Land, atau pun Tanah Lot. Jangan salah kamu di Madura juga mempunyai banyak tempat wisata yang ber Genre Pantai, yah salah satunya Pantai Slopeng.

 Pantai Slopeng merupakan objek wisata yang cantik di pulau ini. Pasirnya yang putih dan laut yang tenang, dapat mengisi akhir pekan Anda kali ini.

Pantai ini terletak di bagian utara Pulau Madura dan berjarak 21 km dari Kota Sumenep. Selain pasirnya yang putih, pantai ini tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Sehingga memiliki suasana yang tenang dan cocok untuk berakhir pekan.

Pantai Slopeng memiliki hamparan pasir yang membentang sepanjang 6 km. Pasir-pasir putih tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk bersantai di tepian pantai. Uniknya, tidak hanya hamparan pasir putih, tetapi pasir putih di pantainya menggunung. Anda bisa bermain pasir sepuasnya di sini.

Suasana tenang dan nyaman akan Anda dapatkan. Dengan lambaian pohon-pohon kelapa, nuansa pantai yang khas sangat terasa. Puas bersantai, saatnya bermain air. Air laut di Pantai Slopeng berwarna jernih dan bersih.

Arus lautnya pun cukup tenang, jadi tak perlu takut diterpa arus yang kuat. Anda dapat menikmati lautan yang biru dengan pemandangan langit yang luas. Dengan tenangnya suasana, Anda akan betah berlama-lama menikmati pantainya.

Pesona Pantai Slopeng akan bertambah saat senja tiba. Ada sunset yang berwarna keemasan menyinari hamparan pasir putihnya. Bayangan Anda akan terlihat jelas saat berdiri di pantainya dengan disinari cahaya sang senja yang tenggelam. Pemandangan ini harus diabadikan dalam kamera.

Jika lapar, ada beberapa penjaja makanan di pinggir pantainya. Anda bisa memesan soto, sate, hingga air kelapa untuk mengobati rasa lapar. Ingat, jagalah selalu kebersihan di pantai ini.

Akhir pekan kali ini, cobalah untuk mengunjungi Pantai Slopeng. Suasana yang tenang dibalut pantai cantik nan menawan, akan membuat liburan Anda menyenangkan.

Jadi, buat apa jauh-jauh ke Bali, jika pulau kita Madura tercinta ini juga memiliki eksoime pantai yang patut diperhitungkan.


refrensi http://travel.detik.com

Selasa, 30 Oktober 2012

Pondok Pesantren AL-AMIEN |PonPes AL-AMIEN|

0 komentar
Madura merupakan salah satu pulau yang memiliki julukan sebagai Kota santri disetiap wilayah Kabupaten yang ada di dalamnya, hal itu di karenakan dari ke 4 wilayah kabupaten yang ada di Pulau Madura dapat di pastikan memiliki Pondok Pesantren , baik itu mulai pondok kecil maupun pondok yang sudah besar seperti  Ponpres AL-AMIEN PRENDUAN Madura. Seperti yang kita ketahui, pondok ini telah menciptakan dan mendidik banyak alumnus yang sangat berkualitas. Sehingga mampu menjadi khalifah ketika mereka berada di dalam lingkungan masyarakat yang mana nantinya mereka akan hidup bersosial.
Sedikit tentang Ponpes AL-AMIEN PRENDUAN Madura, pondok ini merupakan salah satu Pondok Pesantren di pulau madura. Berpusat di desa Prenduan, Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Desa Prenduan sendiri merupakan desa yang terletak di pinggiran jalan poros propinsi yang menguhubungkan Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Desa Prenduan merupakan desa di pesisir selatan pulau madura, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Sumenep dan 22 km sebelah timur kota Pamekasan.
Saat ini Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN menempati lahan seluas 25 ha yang menyebar di beberapa lokasi di Desa Pragaan Laok dan Desa Prenduan. Di masa-masa yang akan datang, besar harapan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN akan berdiri cabang-cabang baru di daerah-daerah lain yang membutuhkan dan memungkinkan.

AL-AMIEN PRENDUAN sendiri merupakan lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwa, kaderisasi dan ekonomi sekaligus pula menjadi pusat studi Islam. Dengan mengembangkan sistem-sistem yang inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh. Pondok Pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada salah satu golongan atau partai politik apapun. Seluruh aset dan kekeyaan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN telah diwakafkan kepada ummat Islam dan dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut Majlis Kyai. Untuk melaksanakan tugas sehari-hari, Majlis Kyai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi di kantor Pengadilan Negeri Sumenep.

Sejarah BerdiriSejarah berdiirinya, pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama Islam di Prenduan itu sendiri. Karena Kiai Chotib (kakek para pengasuh sekarang) yang memulai usaha pembangunan lembaga pendidikan Islam di Prenduan, juga merupakan Kiai mengembangkan Islam di Prenduan. Usaha Pembangunan lembaga ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari usaha adik ipar beliau, Kyai Syarqowi yang hijrah ke Guluk-guluk setelah kurang lebih 14 tahun membina masyrakat Prenduan dalam rangka memenuhi amanat sahabatnya, Kyai Gemma yang wafat di Mekkah.

Sebelum meninggalkan Prenduan untuk hijrah ke Guluk-guluk, Kiai Syarqowi meminta Kiai Chotib untuk menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, setelah sebelumnya menikahkan beliau dengan salah seorang putri asli Prenduan yang bernama Aisyah, atau yang lebih dikenal kemudian dengan Nyai Robbani. Dengan senang hati Kiai Chotib menerima amanah tersebut.

Beberapa tahun kemudian, sekitar awal abad ke-20, Kyai Chotib mulai merintis pesantren dengan mendirikan Langgar kecil yang dikenal dengan Congkop. Pesantren Congkop, begitulah masyarakat mengenal lembaga pendidikan ini, karena bangunan yang berdiri pertama kali di pesantren ini adalah bangunan berbentuk Congkop (bangunan persegi semacam Joglo). Bangunan ini berdiri di lahan gersang nan labil dan sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar, kurang lebih 200 meter dari langgar yang didirikan oleh Kyai Syarqowi.

Sejak saat itu, nama congkop sudah menjadi dendang lagu lama pemuda-pemuda prenduan dan sekitarnya yang haus akan ilmu pengetahuan. Ngaji di Congkop, mondok di Congkop, nyantri di Congkop, dan beberapa istilah lainnya. Dari congkop inilah sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang ada sekarang ini dan kyai Chotib sendiri ditetapkan sebagai perintisnya.

Tapi sayang sebelum congkop menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, kiai Chotib harus meninggalkan pesantren dan para santri-santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya. Pada hari sabtu, tanggal 7 Jumadil Akhir 1349/2 Agustus 1930 beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sementara putra-putri beliau yang berjumlah 8 orang sebagian besar telah meninggalkan Congkop untuk ikut suami atau membina umat di desa lain. Dan sebagian lagi masih belajar di berbagai pesantren besar maupun di Mekkah. Sejak itulah cahaya Congkop semakin redup karena regenerasi yang terlambat. Walaupun begitu masih ada kegaitan pengajian yang dibina oleh Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian.

Periode Pembangunan UlangSetelah meredup dengan kepergian kyai Chotib, kegiatan pendidikan Islam di Prenduan kembali menggeliat dengan kembalinya kyai Djauhari (putra ke tujuh kyai Chotib) dari Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam yang merupakan putri salah seorang Syeikh di Makkah Al-Mukarromah.

Sekembali dari Mekkah, KH. Djauhari tidak langsung membuka kembali pesantren untuk melanjutkan rintisan almarhum ayah beliau. Beliau melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di tengah-tengah mereka.

Setelah masyarakat Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi nama Mathlabul Ulum atau Tempat Mencari Ilmu. Madrasah ini terus berkembang dari waktu-waktu termasuk ketika harus berjuang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45-an. Bahkan ketika KH. Djuhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau.

Hingga akhir tahun 1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali aman, madrasah Mathlabul Ulum pun semakin pesat berkembang. Murid-muridnya bertambah banyak, masyarakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan Mathlabul Ulum beliau juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Selain membina madrasah, KH. Djauhari tak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20 orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau.

Hingga akhir tahun 1950-an Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasannya. Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi umat Islam yang pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi dampak cukup besar di Prenduan dan Mathlabul Ulum. Memecah persatuan dan persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan. Pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.

Periode Pendirian Pesantren (1952 - 1971)Menjelang akhir tahun 1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib Mathlabul Ulum yang terpecah KH. Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta, teringat pada harapan masyrakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam, membangun Congkop Baru.

Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat kegiatan santri dan para ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1 tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzul Hijjah 1371 dengan upacara yang sengat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan Tidjaniyyin, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus hingga saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang ini. Karena itulah tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari disepakati oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.

Di Majlis Tidjani yang baru berdiri inilah, KH. Djauhari mulai mengasuh dan membimbing santri-santrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan pergi, kemudian datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman akidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan Shorrof.

Pada tahun 1958 Departemen Agama membuka Madrasah Wajib Belajar (MWB) secara resmi dengan masa belajar 8 tahun. KH. Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini, karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di Pondok Tegal, sementara Mathlabul Ulum beliau jadikan Madrasah Diniyah dengan nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang diselenggarakan pada sore hari hingga kini.

Selain mendirikan MWB beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Terutama setelah putra beliau Moh. Tidjani mondok di sana. Didorong oleh obsesinya untuk mendirikan sebuah pesantren besar yang representatif beliau merintis madrasah tingkat menengah di Pondok Tegal. Untuk madrasah yang baru ini beliau secara sengaja memilih nama Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau TMI, tafa’ulan terhadap KMI Gontor yang sangat beliau kagumi. Apalagi setelah melihat hasil yang dicapai oleh putranya, Moh. Tidjani setelah setahun mondok di sana.

Selain mendirikan TMI Majalis KH. Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang diprakarsai oleh beberapa orang pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para pengelolanya. Lalu muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian beliau mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadi yang kemudian menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok.

Pada akhir era 70-an KH. Djauhari begitu kecewa dengan perkembangan umat Islam yang semakin terpecah belah oleh politik dan partai. Sementara, hasratnya yang begitu besar untuk mendirikan pesantren besar yang representatif bagi pengkaderan generasi muda muslim. Untuk itulah putra beliau, Muhammad Idris Jauhari yang baru menyelesaikan pendidikan di KMI Gontor tidak beliau perkenankan untuk melanjutkan studi keluar daerah. Bahkan beliau minta untuk membantu beliau dalam banyak kegiatan, mengajar santri, mengimami sholat, mengisi pengajian, mengurusi pondok dan lain-lainnya. Saat itu, seolah-olah beliau hendak berpamitan sekaligus meninggalkan amanat besar yang harus dilanjutkan oleh putra-putri beliau. Dan memang tidak lama kemudian, pada hari jumat 18 Rabiuts Tsani 1371/11 Juni 1971 beliau berpulang ke rahmatullah dengan tenang di dampingi oleh istri, anak dan keluarga beliau.

Periode Pengembangan Pertama (1971 - 1989)Sepuluh hari sepeninggal KH. Djauhari, masyrakat Prenduan bermufakat untuk menjariyahkan sebidang tanah seluas 6 ha kepada putra almarhum, Moh. Tidjani Djauhari yang baru pulang dari Makkah untuk didirikan di atasnya pesantren yang representatif sesuai dengan cita-cinta almarhum semasa hayatnya. Tanah tersebut 2,5 ha berasal dari hasil pembelian yang harganya ditanggung oleh dermawan Prenduan, Kapedi dan Pekandangan sedangkan sisanya yang 3,5 ha berasal dari jariyah ahli waris almarhum Haji Syarbini yang disponsori oleh putranya Haji Fathurrahman Syarbini.

Di lokasi baru inilah kemudian yang dikembangkan ke arah selatan, barat dan utara sehingga saat ini luasnya kurang lebih 12 ha, yang kemudian dikenal dengan Pondok Al-Amien Komplek II yang sekarang menjadi pusat seluruh kegiatan AL-AMIEN PRENDUAN. Sebelum memulai pembangunan komplek II ini, Kiai Moh. Tidjani Djauhari bersama Kiai Muhammad Idris Juhari melakukan safari panjang ke beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur dalam rangka mohon izin dan doa restu untuk mendirikan sebuah pesantren baru sekaligus melakukan studi banding dalam rangka mencari format yang paling cocok untuk masyrakat Madura yang memang berciri khusus pula.

Namun, Kiai Moh. Tidjani sementara tidak bisa meneruskan proses pendirian pesantren baru ini karena beliau harus segera kembali ke Mekkah untuk menyelesaikan Magisternya yang hampir tuntas. Maka walau awalnya keberatan, beban tanggung jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum diterima oleh Kiyai Muhammad Idris Jauhari. Apalagi ada jaminan kebebasan untuk berkreasi dan berbuat. Lagi pula ini hanya sementara dan di belakang beliau ada banyak pihak yang siap mendukung seluruh kegiatan pondok.

Berdasarkan hasil safari panjang yang dilakukan sebelumnya itulah, konsep tentang Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang baru, yang mencerminkan cita-cita almarhum KH. Djauhari Mendirikan Pesantren Ala Gontor tapi tidak melupakan nilai-nilai tradisi ke Madura-an yang khas dirumuskan. Maka pada tanggal 10 Syawal 1371 atau 03 Desember 1971 dalam sebuah upacara yang sangat sederhana tapi khidmat, bertempat di serambi Bu Jemmar dan dihadiri oleh beberapa anggota panitia dan guru-guru, Kiyai Muhammad Idris Jauhari meresmikan berdirinya pesantren baru, dan beliau sebagai direkturnya.

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau lebih dikenal dengan TMI, begitulah lembaga pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tersebut dinamakan. Pemilihan nama ini sesuai dengan harapan dari almarhum yang menginginkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan serupa dengan KMI Gontor. Di awal perjalanannya lembaga baru ini banyak mendapatkan tentangan dari beberapa pihak yang belum mengerti tentang dasar, acuan dan prinsip sistem pendidikannya yang menjadi acuannya.

Walaupun mendapatkan tantangan dari luar dan dalam, namun proses pendidikan tetap berjalan dengan baik. Wisuda pertama dilaksanakan pada tahun 1978 bersamaan dengan kedatangan KH. Moh. Tidjani Djauhari yang sedang pulang kampung. Bersamaan dengan wisuda tersebut dihelat pula peringatan tujuh tahun TMI yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan wali santri.

Untuk membantu tugas sehari-hari kiai dan guru-guru juga sebagai media latihan berorganisasi maka pada tahun 1975 dibentuklah Organisasi Santri yang bernama OP TMI dan Gudep Pramuka. Yang kemudian bermetamorfosa menjadi ISMI hingga saat ini.

Walaupun mengembangkan pesantren di lokasi baru, Pondok Tegal sebagai sebuah warisan dari almarhum tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah pengelolaan kegiatan pendidikan sehari-hari diserahkan kepada Kiai Musyhab yang merupakan keponakan KH. Djauhari sekaligus menantu beliau. Sedangkan KH. Muhammad Idris Jauhari fokus mengelola TMI di lokasi baru.

Selain mengembangkan Pondok Tegal pada tahun 1973 juga dibuka Pondok Putri I di atas tanah milik kiai Abdul Kafi dan istrinya Nyai Siddiqoh keponakan KH. Djauhari yang memang dikaderkan secara khusus oleh beliau. Pendirian Pondok Putri I ini sendiri diawali oleh datangnya beberapa remaja putri Prenduan kepada Nyai Siddiqoh untuk mondok dan belajar secara khusus kepada beliau. Kedatangan remaja putri lainnyapun berulang di beberapa waktu setelahnya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk membangun lokasi khusus untuk penginapan dan pemondokan mereka. Sehingga sejak tahun 1986 secara resmi Pondok Putri I berdiri dan sejak itu dikenal dengan Pondok Putri Al-Amien I atau Mitri I. Beberapa pengembanganpun dilakukan untuk memajukan Pondok Putri I sebagaimana halnya Pondok Tegal.

Pengembangan yang dilakukan tidak hanya di Pondok Putri I saja, sejak awal didirikannya telah ada hasrat yang besar untuk membangun Pondok Pesantren khusus putri yang bersistemkan TMI. Maka pada awal tahun 1975 dibangunlah SP Mu’allimat namun terpaksa diganti dengan MTs. Putri karena beberapa faktor. Namun pada tahun ajaran 1983/1984 beberapa wali santri datang untuk mengantarkan putrinya di lembaga pendidikan yang bersistem TMI bukan MTs. maupun MA. Obsesi lama tersebutpun muncul kembali ke permukaan. Maka setelah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, tepat pada tanggal 10 Syawal 1405 / 29 Juni 1985 dalam sebuah upacara yang sederhana di salah satu ruang belajar MTs. Pondok Putri I. Dra. Ny. Anisah Fatimah Zarkasyi yang saat itu sedang mudik dari Mekkah meresmikan berdirinya Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) dan KH. Mahmad Aini ditunjuk sebagai direkturnya.

Hingga tahun 1983 TMaI masih menempati lokal MTs Pondok Putri I sampai akhirnya pindah ke lokasi baru, menempati tanah yang dijariyahkan oleh Hajjah Maryam. Di atas tanah seluas 1000 m2 yang terletak di sebelah barat rumah beliau tersebutlah kemudian dibangun lokal pertama milik TMaI. Dari lokal berbentuk L inilah TMaI mulai berkembang setapak demi setapak hingga seperti saat ini.

Alhamdulillah setelah enam tahun menjalankan program pendidikannya, pada tanggal 15 Ramadan 1411 / 31 Maret 1991 TMaI berhasil mewisuda alumni pertamanya sebanyak 11 orang. Kesebalas orang tersebut adalah mereka yang bertahan dari 25 orang saat pendaftaran awal pada tahun 1985.

Di lain sisi, sejak awal pembangunan TMI telah disadari pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi di lingkungan AL-AMIEN PRENDUAN. Utamanya adalah untuk menampung alumni TMI yang berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya namun masih di dalam pondok. Maka disepakatilah untuk mendidikan pesantren tinggi dengan nama Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) Fakultas Dakwah dengan KH. Shidqi Mudzhar sebagai dekannya dan KH. Jamaluddin Kafie sebagai pembantu dekan sekaligus pelaksana harian.

Selanjutnya ketika Menteri Agama, Bapak Munawwir Syadzali, MA berkunjung ke Al-Amien pada tanggal 04 Dzulhijjah 1403 / 11 September 1983 beliau diminta untuk meresmikan Pesantren Tinggi Al-Amien. Dan sesuai dengan peraturan pada masa itu Pesantren Tinggi diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) yang pada 24 Rajab 1402 / 29 Januari 1992 melepas wisudawannya sebanyak 43 orang.

Periode Pengembangan Kedua (1989-sekarang)
Tanggal 27 Januari 1989, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kembali dari Mekkah Al-Mukarromah. Kemudian disusul oleh KH. Maktum Jauhari, MA pada tahun 1990 yang baru saja menyelesaikan Magisternya di Al-Azhar Cairo. Sejak saat itulah Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN memasuki masa pengembangan baru. Pengembangan-pengembangan semakin cepat berjalan karena sinergi yang semakin solid.

Pengembangan pertama yang dilakukan adalah Pendirian Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA). Pendirian MTA ini didasari pada obsesi lama untuk mencetak generasi Hafadzah Al-Qur’an yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat. Maka pada tahun 1990 pendirian MTA dimulai dengan membuka kembali program Jamaah Tahfidz di kalangan santri senior TMI. Lalu kemudian pada pertengahan bulan Sya’ban 1411 / Februari 1991 KH. Muhammad Idris Jauhari bersama KH. Ainul Had dan KH. Zainullah Rais berkeliling ke beberapa Ma’had Tahfidzil Qur’an di Jawa Timur, Jogjakarta hingga ke Jawa Tengah untuk studi banding dan mencari pola serta sistem yang paling representatif bagi Ma’had Tahfidzil Qur’an Al-Amien.

Dengan perantara Syekh Bakr Khumais, seorang dermawan Arab Saudi Syekh Ahmad Hasan Fatihy bersedia menyediakan dana yang cukup untuk membuka lembaga khusus bagi MTA yang terpisah dengan TMI. Maka pada dengan segala persiapan yang matang pada tanggal 12 Rb. Awal 1412 / 21 September 1991 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA meresmikan berdirinya MTA dengan jumlah murid pertama sebanyak 28 orang.

Pengembangan kedua adalah pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Hal ini telah terobsesi sejak lama, sejak beliau masih berada di Mekkah Al-Mukarromah. Beliau menginginkan di tengah-tengah kampus Al-Amien nantinya dibangun sebuah masjid yang besar, megah, indah dan multifungsi. Maka sepulang dari Mekkah beliau pun membentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Segera setelah panitia dibentuk pembangunan masjid tersebut dimulai. Segala daya dan upaya dilakukan untuk mensukseskan pembanguan masjid besar ini. Untuk teknis pembangunan PT. Adhi Karya dan Pondok Modern Gontor pun di gandeng.

Pembangunan masjid besar seluas 48 x 40 meter ini berjalan secara bertahap dari tahun ke tahun. Proses pembangunannya kadang berlari, merangkak bahkan merayap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang ada. Hingga akhirnya seluruh bagian utama masjid tersebut selesai tepat bersamaan dengan perayaan kesyukuran 45 tahun berdirinya AL-AMIEN PRENDUAN. Pada perhelatan akbar itu pula Menteri Agama meresmikan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN.

Pengembangan selanjutnya adalah peningkatan status Sekolah Tinggi Dakwah Al-Amien (STIDA) menjadi Sekolah Tinggai Agama Islam Al-Amien (STAI) dengan dibukanya Jurusan Pendidikan Agama (Tarbiyah) pada tahun 1995. Lalu pada tahun 2001 status STAI ditingkat kembali menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) dengan dibukanya 3 jurusan baru, Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), Jurusan Tafsir Hadis (Ushuluddin) dan Jurusan Akidah Filsafat (Ushuluddin).

Memasuki tahun 2002, AL-AMIEN PRENDUAN memasuki usianya yang ke 50. Untuk menyambut usia emas ini digelar peringatan Kesyukuran Setengah Abad Al-Amien dengan aneka kegiatan yang berlangsung selama 20 hari lamanya. Pada peringatan ini pula diresmikan MI Ponteg sebagai MI percontohan oleh Mendiknas RI. Beberapa pengembangan terus dilakukan, diantaranya adalah pendirian MTA Putri pada tahun 2006.

Setelah 18 tahun berjuang mengembangkan AL-AMIEN PRENDUAN, pada tanggal 15 Ramadhan 1428 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA wafat dan meninggalkan amanah pengembangan AL-AMIEN PRENDUAN kepada KH. Muhammad Idris Jauhari dan kiai-kiai dan guru-guru yang lain. Patah tumbuh, hilang berganti. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana perkembangan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN sejak didirikannya hingga saat ini.
Semoga dengan adanya ulasan artikel tentang Ponpres AL-AMIEN PRENDUAN Madura ini , kami bisa memberikan refrensi bagi para pembaca untuk Program Pendidikan bagi Putra maupun Putri nya . Sehingga mampu menjadi Sosok yang di harap kan mampu berguna dan menjadi panutan bagi orang tua, bangsa, dan negara serta seluruh umat muslim di dunia secara umum.
refrensi http://www.pondokpesantren.net

Sabtu, 29 September 2012

BPWS |Tahukah anda????|

0 komentar

Ketika anda melewati Jembatan Suramadu , anda akan melihat sebuah kator yang berplakatkan BPWS. Tapi tahukah anda apa tiu BPWS? nah BPWS adalah Badan Pelaksana BPWS (Bapel BPWS), sesuai dengan amanah Perpres 27 Tahun 2008 yang kemudian diperbarui dengan Perpres 23 Tahun 2009 , memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelolaan, pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan pembangunan wilayah Suramadu. Kegiatan pengelolaan dan pembangunan infrastruktur wilayah yang dilaksanakan Bapel BPWS dilaksanakan di 3 (tiga) kawasan, yaitu Kawasan Kaki Jembatan Sisi (KKJS) Surabaya (600 Ha), Kawasan Kaki Jembatan Sisi (KKJS) Madura (600 Ha) dan kawasan khusus di Utara Pulau Madura (600 Ha). Kawasan Kaki Jembatan Sisi Surabaya (KKJSS) dan Kawasan Kaki Jembatan Sisi Madura (KKJSM) dikembangkan untuk mendorong perkembangan ekonomi, sedangkan kawasan khusus di Utara Pulau Madura untuk pengembangan kawasan Pelabuhan Peti Kemas. Selain melaksanakan tugas dan fungsi di atas, Bapel BPWS juga bertugas untuk stimulasi pembangunan infrastruktur untuk wilayah Suramadu secara keseluruhan. Dalam hal ini Bapel BPWS melakukan koordinasi perencanaan dan pengendalian pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan Kementerian/LPNK lain, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maupun swasta/masyarakat di wilayah Madura. nah berikut ini adalah salah satu Fungsi dari BPWS. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, bahwa tujuan pengembangan wilayah Suramadu adalah optimalisasi percepatan pengembangan wilayah Suramadu, sehingga dapat berperan sebagai pusat pengembangan wilayah Jawa Timur, berdasarkan Pasal 12 Perpres Nomor 27 Tahun 2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, Bapel BPWS melaksanakan tugas: Menyusun rencana induk dan rencana kegiatan pengembangan sarana dan prasarana serta kegiatan pengembangan wilayah Suramadu Melaksanakan pengusahaan Jembatan Tol Suramadu dan Jalan Tol lingkar Timur Surabaya (Simpang Juanda – Tanjung Perak) melalui kerjasama dengan badan usaha pemenang lelang pengusahaan jembatan tol dan jalan tol dimaksud Melaksanakan pengusahaan pelabuhan petikemas di Pulau Madura Membangun dan mengelola : Wilayah Kaki Jembatan Surabaya – Madura, yang meliputi : Wilayah di sisi Surabaya ± 600 Ha (enam ratus hektar) Wilayah di sisi Madura ± 600 Ha (enam ratus hektar) Kawasan khusus di Pulau Madura seluas ± 600 Ha (enam ratus hektar) dalam satu kesatuan dengan wilayah pelabuhan petikemas dengan perumahan dan industri termasuk jalan aksesnya Menerima dan melaksanakan pelimpahan sebagian wewenang dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah Menyelenggarakan pelayanan satu atap untuk urusan perizinan di wilayahSuramadu Melakukan Fasilitasi dan stimulasi percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat Jawa Timur, antara lain dalam Pembangunan jalan akses menuju Jembatan Tol Suramadu, baik di wilayah sisi Surabaya maupun di wilayah sisi Madura Pembangunan jalan pantai utara Madura (Bangkalan – Sumenep) Pembangunan jalan lintas selatan Madura (Bangkalan – Sumenep) Pembangunan jalan penghubung pantai utara Madura dengan lintas selatan Madura Pembangunan infrastruktur perhubungan antar wilayah kepulauan Pengembangan sumber daya manusia dalam rangka industrialisasi di Pulau Madura Penyediaan infrastruktur air baku, air minum, sanitasi, energi, dan telekomunikasi di wilayah Suramadu Melakukan tugas lain terkait dengan pengembangan wilayah Suramadu yang ditetapkan lebih lanjut oeh Dewan Pengarah.

Jumat, 28 September 2012

Kaldu Kokot | Kuliner Khas SUMENEP |

1 komentar

Kali ini, pulaumadura.com akan berbagi cerita tantang kenunikan pengalaman dari teman kita Aku Cinta Indonesia yang juga gemar berburu kuliner di belahan nusantara, untuk lebih jelasnya mari kita simak sepenggal cerita ini.
Ada sebuah cerita yang lucu yang saya alami pada malam pertama tim kami menetap di Madura, tepatnya di Sumenep. Selepas beribadah maghrib di Masjid Jamik saya berjalan menuju Taman Adipura yang berada di seberangnya, mencari penduduk lokal yang kiranya bisa saya tanyai apa makanan khas dari Sumenep yang bisa kami coba sebagai pendatang. Saya menghampiri seorang perempuan muda yang sedang berjualan es di depan Taman Adipura, karena ia menjual makanan tanpa pikir panjang saya berasumsi perempuan itu pasti paham perihal makanan lokal, dan dengan penuh keyakinan saya lalu bertanya. Tapi apa yang saya anggap sebagai pertanyaan sederhana untuk tiap daerah itu ternyata tak sesederhana yang saya kira, perempuan muda itu justru menjawab tidak tahu. Seolah belum cukup melihat kebingungan saya ia malah balik bertanya dengan logat Maduranya yang kental, "Makanan khas itu kaya apa ya? Contohnya apa?". Ya Tuhan, tak ada pilihan lain bagi saya selain kehabisan kata. Kemudian akhirnya pada malam ini, yaitu malam kedua kami menetap di kota ini, kami menemukan sebuah makanan yang unik. Menurut informasi makanan ini adalah makanan khas dari Sumenep. Dan informan yang sama menyebut bahwa makanan ini lumayan dikenal oleh para pendatang yang pernah ke Sumenep. Makanan khas ini disebut dengan Kaldu Kokot, atau yang lebih sering disebut dengan Kaldu. Kaldu Kokot adalah sup dengan bahan utama dari kedelai atau kacang ijo yang direbus, dibumbui dengan kaldu sapi, lalu ditambah dengan kacang yang diuleg bersama petis madura. Di dalam racikan sup kedelai itu kemudian juga ditambah dengan bagian bawah kaki sapi atau dalam bahasa Maduranya adalah 'Kokot'. Kokot yang sudah direbus menjadi empuk membuat Kaldu Kokot atau Sup Kokot itu akan terasa lembut dan ringan. Kaldu ini disajikan saat masih panas dan dimakan bersama dengan singkong yang dikukus atau digoreng, atau bisa juga dengan lontong, yang ditambah dengan sambal kacang. Bahkan di beberapa warung Kaldu Kokot ini disajikan dengan berbagai variasi isi dalam kaldunya. Seperti contohnya di warung kecil "Nano" di mana kami menyantap Kaldu Kokot ini malam tadi. Selain menyajikan Kaldu Kokot sesuai dengan resep aslinya yang terkenal, warung kecil ini juga menyediakan Kaldu Kokot Cingur dan Kaldu Kokot Telor. Rasanya gurih dan sangat mengenyangkan. Patut dicoba terutama jika membutuhkan tambahan stamina. Reff by Aku Cinta Indonesia

Sabtu, 15 September 2012

SANtRI KERACUNAN | Sekitar 750 Santri Pondok Pesantren Syaichona Kholil Bangkalan|

0 komentar
Sedikitnya 750 santri di Pondok Pesantren Syaichona Kholil , Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Jumat (14/9) malam keracunan.

Ratusan santri kini dirujuk ke Rumah Sakit Daerah Syarifa Ambami Rato Ebu, Bangkalan, dengan menggunakan berbagai jenis kendaraan.

Ikhsan, salah seorang pengurus pondok pesantren, menuturkan, ratusan santri diketahui mengalami gejala keracunan sejak Jumat pagi.

"Mereka mengaku pusing-pusing dan mual," katanya menjelaskan.

Semula, kata dia, jumlah santri yang keracunan hanya beberapa orang saja, namun hingga Jumat siang jumlahnya terus bertambah dan menimpa semua santri yang ada di pondok itu, sehingga para pengurus pondok memutuskan mereka dirujuk ke rumah sakit saja.

Hingga Jumat malam proses evakuasi santri dari pondok pesantren ke rumah sakit masih berlangsung.

Sebagian santri menduga, penyebab keracunan adalah nasi bungkus yang mereka santap seusai salawatan di pesantren, Kamis (13/9) malam.

Menurut dokter jaga di rumah sakit, dr Alfian Nur, dilihat dari gejalanya, ratusan santri memang keracunan.

"Tindakan pertama yang kami lakukan adalah memberikan cairan, karena rata-rata santri yang dirujuk kesini kekurangan cairan, akibat sering muntah dan buang air besar," kata Alfian menjelaskan.

metronews.com

Rabu, 12 September 2012

Mendalami Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa

0 komentar
Ketika sedang menjeajah dunia maya, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah artikel menarik tentang Adat Istiadat serta Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat yang di pubish oleh Situs Resmi Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia dan muncul dalam benak saya sebuah pertanyaan yang menggelitik muncul ketika berbagai program pembangunan desa marak diluncurkan yaitu “Apakah budaya masyarakat merupakan faktor penting yang diperhatikan bagi input kebijakan dalam menyusun program pembanguna desa?”. Ketika suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan penghargan terhadap nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka ragam di negeri kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu penghormatan terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak azasi masyarakat.
Di era pasca reformasi indikasi terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI.
Betapa tidak, jika ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga Negara Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris bernama Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara Jawa. Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing untuk daerah Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan penjajah tentunya.
Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang, Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, jika kita simak pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh potensi nampaknya telah dikerahkan, namun penurunannya merambat perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari arah sasaran?
Mari kita lihat payung hukum lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.
Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah, bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?

Oleh : Abraham Raubun
Tenaga Ahli Utama Sekretariat PDT
Sumber :TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa Terpadu, 2011, Volume 1
Tags :Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa

Selasa, 11 September 2012

Arti Lambang Kabupaten Bangkalan

0 komentar


LAMBANG- atau pun logo suatu daerah memiliki banyak arti dan filosofi, berikut ini kami mereview Lambang Kabupaten Bangkalan semoga bermanfaat.

Lambang Daerah Kabupaten Bangkalan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1971. Lambang Daerah melukiskan suatu keadaan daerah Kabupaten Bangkalan sebagai salah satu daerah di Pulau Madura, yang mempunyai ciri-ciri khas sendiri adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Arti Lambang Kabupaten Bangkalan

PERISAI :
Bentuk bunga teratai bersudut lima sebagai lambang kesetiaan penuh kepada Pancasila dan sifat Kesatriaan, Keagungan, Persaudaraan dan Relegius dari masyarakat daerah Kabupaten Bangkalan.

BINTANG KUNING EMAS :
Sebagai lambang segala langkah perjuangan masyarakat selalu dipedomani keparcayaan yang mendalam Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

SEBUAH SENJATA MANGGALA dan SENJATA CAKRA :
Sebagai lambang jiwa kepahlawanan dalam menentang penjajah dahulu selalu diwarisi oleh generasi-generasi selanjutnya dalam mempertahankan tegaknya Negara Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.

LAUTAN :
Sebagai tanda bahwa Daerah Kabupaten Bangkalan sebagai bagian dari Pulau Madura yang dibatasi oleh lautan dari tiga arah, sebagai lambang dari kearifan dan kebijaksanaan yang dalam, serta kelapangan dada dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban.

PANAH, ANAK PANAH dan BUSURNYA :
Sebagai lambang kemauan yang keras dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur sesuai dengan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945.

API KONANG :
Sebagai lambang semangat yang tidak kunjung padam dari rakyat Daerah Kabupaten Bangkalan, dikenal sebagai daerah yang aktif membantu suksesnya pembinaan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia dengan melalui forum olahraga (GANEFO I).

UNTAIAN BUNGA KAPAS : Sebanyak 17 (tujuh belas) butir dan

UNTAIAN PADI : Sebanyak 45 (empat puluh lima) butir

SESANTI CIPTA INDRA CAKTI DHARMA :
Yang berarti bahwa segala karya dari manusia hanya dapat terwujud dengan baik apabila mendapat Ridho dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber Musium Cakaningrat

Senin, 10 September 2012

Regenerasi Pemerintahan Sampang Sejak 1478M Hingga Sekarang

0 komentar

Bagi teman-teman yang penasaran dan ingin mengetahui pemimpin Kabupaten Sampang dari tahun 1478M sampai sekarang, teman-teman bisa baca Refrensi yang kami sajikan ini, semoga bermanfaat.
Kamituwo di Madegan – Sampang : Raden Ario Lembu Petteng (1478) Raden Ario Menger Raden Ario Pratikel Raden Ario Pojok Penguasa Sampang (status sama dengan kerajaan kecil) : Adipati Pramono ……. – …….. Adipati Bonorogo ….. – 1530 Pangeran Sidhing Gili 1531 – 1592 Adipati Pamedakan 1592 – 1623 Adipati Merto Sari 1623 – 1624 Kerajaan Madura : Pangeran Cakraningrat I ( Raden Praseno, 1624 – 1648) Pangeran Cakraningrat II ( Raden Undakan 1648 – 1680), menjadi Raja Madura bagian barat berkeraton di Tonjung Kabupaten Bangkalan Pasca Kerajaan Madura (Penguasa Sampang) : Raden Ario Purbonegoro ( 1680 ) Raden Ario Purwonegoro Ganta’ Raden Ario Purbonegoro ( Raden Demang Panjang Suro ) Raden Tumenggung Purbonegoro / Minggu ( Gung Purbo ) Raden Ario Mloyo Kusumo ( Penguasa terakhir, berdiri sendiri) Zaman Penjajahan Belanda ( terhitung sejak 1 November 1885 ) : Bupati Pertama ( Tumenggung Ario Kusumoadiningrat 1884 – ……. ) Bupati Kedua ( Tumenggung Ario Condrokusumo …… – …… ) Bupati Ketiga ( Adipati Secoadiningrat ……. – 1913 ) Bupati Keempat ( Tumenggung Ario Suryowinoto 1913 – 1918 ) Bupati Kelima ( Tumenggung Ario Kertoamiprojo 1918 – 1923 ) Bupati Keenam ( Tumenggung Ario Sosrowinoto 1923 – 1931 ) Sampang berstatus kawedanan (1931 – 1942) Zaman Pendudukan Militer Jepang : Sampang dalam pendudukan jepang berstatus kawedanan (1942 – 1945) Wedana Raden Abdul Gafur Masa Kemerdekaan R.I 17 Agustus 1945 : Sampang berstatus kawedanan Wedana Raden Abdul Gafur Negara Madura (20 Februari 1948 – 4 Maret 1950) Sampang berstatus Kabupaten Bupati Raden Panji Muhammad Saleh Kusumowinoto (1948 – 1950) Kembali ke Pemerintahan R.I Madura bergabung dengan Negara Kesatuan R.I tanggal 9 Maret 1950 Sampang Berstatus Kabupaten : Bupati Pertama (RT. Moh. Iksan 1950 – 1952) Bupati Kedua ( R. Suharjo 1953 – 1956) Bupati Ketiga ( K.H. Achmad Zaini 1957 – 1959) Bupati Keempat (M. Walihadi 1960 – 1965) Bupati Kelima ( Faudzan Hafidz Suroso, B.A 1966 – 1971) Bupati Keenam (Jusuf Oenik 1971 – 1978) Bupati Ketujuh (Mursim 1978 – 1985) Bupati Kedelapan (Makbul 1985 – 1990) Bupati Kesembilan(R. Bagus Hinayana 1990 – 1995) Bupati Kesepuluh (Fadhilah Budiono, periode pertama 1995 – 2000) (periode kedua 2001 – 2006) Bupati Kesebelas (Noer Tjahja 2008 – sekarang) Sumber :

Disbudparpora Kab. Sampang

Sabtu, 08 September 2012

" SURAMADU BRIDGE " New Economic Revolution In Madura

1 komentar


DEVELOPMENT longest inter-island bridge in Indonesia Surabaya-Madura (Suramadu) will accelerate economic development in Madura, which has been isolated.
Suramadu will accelerate the economic development of the isolated Madura, said Advisor to the National Development Planning Agency (BAPPENAS) Ngakan Putu Miharjana, Madura Development discussion Suramadu with Post-Development Executive Forum Alumni Association Institute of Technology Nopermber, in Jakarta, Saturday (6 / 6).
However, it did not create the economic infrastructure, only help accelerate that potential can be realized. Especially relevant as a bridge transportation will reduce transport costs, improve productivity, and economic movement in the region cheaper. Moreover, it could help to explore potential of local-pontensi from Surabaya to Madura and vice versa.
According to him, a huge potential in the sector Madura is a tobacco plantation and natural resources such as gas oil. The use of land for industrial areas will occur, because in Surabaya very crowded and expensive so if shaped area of ​​the industry is difficult. So the development of the industry that can flow into the Madura with formation of an industrial area.
Longest bridge is the longest in Indonesia, which is about 5.4 kilometers built with construction costs Rp 4, 528 trillion sumebr funds from the state budget / budget and bilateral loans from China.
He added that a region whose economy is not so great as Surabaya Madura and connected with the area's economy is developed so that dikonsuldasi money advanced. Because of the advanced already have some keunggalan its resources more fully.
Once they are up and saturated the new shift to the side or Madura, unless the government intervenes, if released to the market mechanism will look for a more lucrative.
According to him, it is theoretically predicted that sightseeing and shopping sector is moving faster it Surabaya. Construction of the bridge, the government has to calculate the potential in Madura, and other possibilities for the development of Surabaya is limited by geography so as to bridge the industry is expected to shift to Madura.
However, the development of industrial areas in need of some factors first capital, human resource is ready for industrialization.
Therefore, it is expected with the construction of longest bridge or open Madura insulation will benefit from the economic aspect. They worry about the negative impacts after the bridge, but socio-economically more positive.
According to him, there are certain aspects of the environment and the changes will be the concentration of the new world. In addition, the construction of longest bridge thankfully does not fall on the land productive so there is no conversion.
Alluding to the spatial conditions in the area related to the Madura longest bridge, he said, there should be further examination, as it would have a change of activity centers in industrial areas.
There should be a balance between the two acceleration region, because it was feared if not planned carefully sat down with the Surabaya-Madura, will be far away.
Still lacking
Meanwhile, experts Statistics Tenth of November Institute of Technology (ITS) Surabaya, Kresnayana Yahya, said the road infrastructure is less of a problem in Madura, resulting in less support the development of the area.
Problem in Madura about road infrastructure, it is necessary for spatial assessment again in the area, said Kresnayana.
According to him, due to the infrastructure is still lacking, so that the cost in higher and Madura many poor people.
Madura has as many as 14 million people, but only four million are still living and others are not at home and prefer to migrate to other areas.
Four districts in Madura, namely Bangkalan home to about one million people, approximately 414,000 inhabitants Sampang lives of the poorest areas compared to other districts so that they wander a lot. Lacquer Society was the most outside Madura, because economic conditions are very low, he said.
In addition to roads, Madura in the Dutch, many teak forests, but now it is gone. There are 14 rivers disappear and vegetation and entire stands of teak gone.
Since the tree is not there so a few million cubic meters of water contained in the soil in Madura is now missing, as well as the Advisory Board Krenayana Madura .

pulaumadura.com

Rabu, 05 September 2012

" Madura Island " In English Review

0 komentar


Madura madukara derived from the word, the name of a god who was riding the cow which is jelamaan of the god Vishnu. Madukara was formerly deserted island without masters, mostly barren land into fertile top of dexterity and patience daughter Ayu Koneng government.
Putri Ayu Koneng Hindu. He likes to meditate and eat leaves and fruits. While the drink is made of turmeric and ginger seruas thumb that are put together. One time during the period of his hermitage, the princess dreamed of meeting the deity Vishnu, who gave him the gift of a baby in the womb Princess Koneng, This then makes him restless and agitated. Pregnant without a husband is a disgrace for him. He thought if the pregnancy was heard by the king, who was also his father the king bracelets. When hearing her pregnancy, the king became angry. In fact he did not want to know that the innocent is not his daughter. Kingdom bracelets itself is located in an area that remit includes Lamongan Gresik, Tuban, Edge Galuh (Surabaya). With the persuasion of the empress, then luluhlah heart of the king. Then the king said to his daughter was ostracized from his realm.
"O commander!," Cried the king. "I titahkan you brought my daughter out of the bracelets. And do not let her pregnancy was heard by my people, and then you come back to me "command of the king on his guard. After a long the way, on the edge of a beach the commander and the deputy saw the island of homeless. It was there and then the princess exiled.
But the commander felt sorry for the princess. Commander of the king's maker. In fact he brought his relatives to accompany the princess on the island. Princess koneng island Madukara name is none other than an adored figure of the god Vishnu. However, due to the tongue of the rigid at that time, the name madukara to Madura. Gradually, as many people who feel Ibah hello to the princess, many hijras people to the island. There juaga new pedatang from china and india live in pualu it!, The princess of land dividing the island of Madura with the commander. Bangkalan ground commander is empowered to become duke Bangkalan, daughter koneng build his empire in lacquer with royal names Nepa!. In rainy season the daughter entered the race racing cows pull a plow. This is a surefire way to enrich the soil and after the new land planted with rice, corn, etc..
Competition cow racing, then became a tradition of the nobility Madura. In its heyday, Nepa empire extending his rule until Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang, and partly with the help of Duke Bangkalan Probolinggo. At one time royal bracelets attacked by other kingdoms. And sent the commander to ask for help Nepa king awareness bracelets.
How was royal Nepa still has blood kinship. And with the help of the king of Nepa, royal bracelets can be maintained. Coming home from the war arena, King Nepa thinks otherwise, he has big plans to seize the rings. because he think with that he was more right than his uncle on the royal power. Sounds like another bersautan, with the vibrant spirit of the army be established desire to conquer the king of kings bracelets. Bertambahlah Nepa power to Tuban, Lamongan, Gresik.
Not long from the rule in these bracelets, with the help of another royal uncle King Nepa behind the attack. Feeling stuck and tired army, knew that he would lose against his uncle. The king Nepa asked the guards to rescue the royal family to the area Sumenep. He also asked if there was news that he had died on the battlefield, the Queen and the royal guards immediately burn istanah Nepe. This has become the philosophy of the Madurese who reads "bone white better than the white of the eye." Nepa End of empire is estimated to occur in the year 1266.
Madura is the name of the island located in the northeast of East Java. Madura magnitude approximately 5250 km2 (smaller than the island of Bali), with a population of about 4 million people.

Location Madura Island
Madura is divided into four districts, namely:
1. Bangkalan
2. Sampang
3. Pamekasan
4. Sumenep
This island includes the province of East Java and has a number of motor vehicle itself, the "M".
History
Politically, Madura for centuries been a subordinate local authority based in Java. Around AD 900-1500, the island was under the influence of the eastern Javanese Hindu kingdom of Kediri, Singhasari, and Majapahit. In between 1500 and 1624, the rulers of Madura to some extent dependent on the Islamic kingdoms in the north coast of Java, like Demak, Gresik and Surabaya. In 1624, Madura conquered by Mataram. After that, the first half of the eighteenth century Madura under Dutch colonial rule (from 1882), first by the VOC, then the Dutch East Indies government. At the time of the division of the province in the 1920's, Madura became part of the province of East Java.
Economy
Overall, including Madura one of the poorest in the province of East Java [2]. Unlike Java, Madura soil less fertile enough to be used as a farm. Other limited economic opportunities has led to unemployment and poverty. These factors have resulted in long-term emigration of so many current Madura Madurese people do not live in Madura. Residents Madura including most transmigration program participants.
Subsistence agriculture (small scale to survive) is the main economic activity. Maize and cassava are the main crops in subsistence agriculture in Madura, scattered in many small holdings. Cattle are also an important part of the agricultural economy of the island and provide additional income for family farmers is important for activities other than karapan cows. Small-scale fisheries are also important in the subsistence economy there.
Crop cultivation is the most commercially in Madura tobacco. Land on the island of Madura, as this helps to make important producer of tobacco and clove cigarettes for the domestic industry. Since the Dutch colonial era, Madura has also become a major producer and exporter of salt.
Bangkalan located at the western end of Madura has undergone industrialization since the 1980s. The area is easily accessible from Surabaya, Indonesia's second largest city, and thus plays a suburb for commuters into the city, and as an industrial location and services needed close to Surabaya. Longest bridge that has been in operation since June 10, 2009, is expected to increase interaction with the regional economic Bangkalan area.
Culture
Madura is famous for its culture Karapan cow.

Karapan cows in Pamekasan, Madura.

List of figures Sakera

Sakera is a born fighter legend Bangil in Pasuruan, Indonesia. He fought against Dutch colonialism around the beginning of the 19th century. Sakera sadalah a local hero, who defied a dictator Dutch Bangil sugar plantation in the area. Sakera whiz-whiz as well as other areas Dutch captured after being betrayed by one of his own. He was buried in the Bekacak, Village Kolursari, the area south of the town Bangil. Madura bloody hero legend is very popular in East Java.
Sakera was a hero who was born in the village Raci Bangil City, Pasuruan, East Java, Indonesia. He fought against Dutch colonialism in the early 19th century. Sakera sadalah a local hero against the Dutch colonialists in sugarcane plantations Mas Bangil hare. Bangil bloody hero legend is very popular in East Java and Madura especially in Pasuruan.
History Sakera


Sakera real name Sadiman who works as a foreman at a sugar plantation owned sugar mills Mas Bangil deer. He is known as a foreman for a kind and very concerned about the welfare of the workers to dubbed Mr. Sakera. One day after the milling season is finished, the sugar factory requires a lot of new land to plant sugar cane. Because the interests of the Dutch company's ambitious leadership wants to buy plantation area-wide with cheap-price murahnya.Dengan cunning way the Dutch were ordered to strip Apex can provide new land for the company in the short term and cheap, and by promising raise the expectations of wealth and riches to strip Apex willing to fulfill that desire. Carik Apex uses violent means to the people of the land sought for the company. Sakera see this injustice try always to defend the people and the many failed attempts to strip Rembang. Carik Rembang report this to corporate leaders. Corporate leaders angry and sent his deputy Mark to kill Sakera. One day at the plantation workers were resting, Markus angry and punish the workers as well as challenging Sakera. Sakera that a report it is angry and kill Mark and guard in the garden cane. Since then Sakera become fugitives Dutch Government. Once when Sakera visiting his mother's house, where he was beaten by police and Dutch Rembang strips. Because the mother was threatened with death Sakera then Sakera ahirnya surrender, Sakera Bangil in jail. Torment by Dutch police torture to Sakera every day. for jailed Pak Sakera always missed by family at his home, Sakera have a very beautiful wife named Marlena and a nephew named Brodin. Unlike Sakera with big hearts, Brodin is a mischievous boy who likes to gamble and secretly eyeing Sakera wife Marlena. Brodin repeatedly attempted to close to Marlena. While there Sakera prison, Brodin managed affair with Marlena. When the news reached the ears Sakera Sakera angry and escapes from prison. Brodin was killed Sakera. Then Mr. Sakera revenge is consecutive, starting Carik Rembang killed, followed by a purge officials who extort people's estates. Even the police chief Bangil was hacked by hand with his trademark weapon 'sickle' when trying to catch Sakera. By the devious Dutch police also went to a friend seperguruan Sakera named Aziz to seek Pak Sakera weaknesses. With the lure of riches will be rewarded by the Dutch Government in Bangil Aziz Sakera trap by holding tayuban, knowing Sakera most happy event tayuban Sakera finally was caught and overpowered knowledge degan punch [[bamboo lear]]. Again, the Dutch succeeded Mr. Sakera mernangkap back later tried by the Government and it was decided to Bangil hanged. Sakera fall Bangil hanged in prison and he was buried in Bekacak, Kolursari Village (the area south of the city Bangil).
TRADITIONAL MUSIC (MADURA) Daul'' UL''



There stroller, kenong, gongs, drums, flute, barrels, and other traditional musical instruments. In each instrument, one man stood drummers that number could reach twenties whole people or more. Each instrument is mounted on a stroller that has a variety of shapes and colors. And those who stood menabuhnya walk in the stroller with the hole at the bottom. That music Ul Daul, new music typical of Madura.
Certainly no one knows when Ul Daul was formed and where it originated where original music, whether or Sumenep Pamekasan. Music is known only emerging five years. Starting from the street music group whose activities are waking people at night, especially in the month of fasting.
Subsequent developments, the instruments used and start growing improved with a better design. First, as a musical instrument drum bass work, the material used plastic container barrels of fish fed ex truck tire rubber. While kenong that have sound gerincing made from the cut sheet metal and arranged in hollow logs. Other tools such as a hollowed bamboo drums a bit on the side.
At first the music was not using a stroller. The musicians bring their own instrument. However, since a few years ago made the train but to also increase the ease of this exotic percussion. The design is diverse, ranging from dragons, peacocks, chickens ranged, and others. Exoticism stroller is growing as the drummer wearing uniforms. Uniforms were selected from typical local color elements, such as custom clothing and dress Sakera.
Music is usually performed on festive occasions such as mantenan, circumcision, khotmil qur'an, celebration increases class, Agustusan, and so on. Not only in Madura music also appeared in an official ceremony in the state as well as several events abroad. Yes, despite emerging yet been able to go international.
Daul Ul characterized, music and of course the smart stroller. So, some time ago Pamekasan want to patent this music as one of the musical wealth of the typical Madura. Today, the number has Daul Ul music very much. They are mostly spread in three districts, namely Sumenep, Pamekasan and Sampang. The emergence of these groups are supported by the growing proliferation of pilot events that melombakan music.
To be able to watch Ul Daul people have to spend a sum of around Rp. 1-1.5 million.
Prominent Origin Madura
Prominent Legend
Adi Poday, Panembahan Blingi second son, Ario Palangjiwo holds a legendary figure who likes to meditate and do spiritual marriage with Potre Koneng and dkaruniai two children namely Jokotole and Jokowedi
Potre Koneng, aka Goddess Saini grandson of Prince Bukabu in Sumenep
Jokotole first child and marriage Adi poday Potre koneng found white bulls were fed in a cowshed belonging MPU Kelleng who eventually became his stepfather. The place where there is a cowshed later became the name of this village in the Village Pekandangan daesah.
Jokowedi
Kelleng MPU, a blacksmith from the village Pekandangan District Bluto Sumenep
Sakera: is a local hero, who defied a dictator Dutch Bangil sugar plantation in the area, which was eventually sentenced to death by the colonial Dutch.
Trunojoyo
To the vanished
Prominent kingdom
Central Prince 1592-1621. Brother of:
Prince Mas 1621-1624
Prince Praseno prince Ningrat I Tjokro in 1624-1647. Children of Central and father of:
Prince Tjokro in Ningrat II 1647-1707, Panembahan 1705. Father of:
Raden Temenggong Sosro in Ningrat Prince Tjokro in Ningrat III 1707-1718. Brother of:
Raden Temenggong Suro in Ningrat Prince Tjokro Ningrat IV in 1718-1736. Father of:
Raden Duke Sejo Adi Ningrat I Panembahan Tjokro in Ningrat V 1736-1769. Grandfather of:
Raden Duke Sejo Adi Ningrat II Panembahan Duke Tjokro in Ningrat VI 1769-1779
Duke Panembahan Tjokro in Ningrat VII 1779-1815, Sultan 1808-1815 Bangkalan. Children of Tjokro in Ningrat V and Father of:
Tjokro in Ningrat VIII, Sultan Bangkalan 1815-1847. Brother of:
Panembahan Tjokro in Ningrat IX, Sultan Bangkalan 1847-1862. Father of:
Panembahan Tjokro in Ningrat X, Sultan Bangkalan 1862-1882.
Raden Aria Wiraraaja: is: Founder of work Majapahit
Prominent Ulema / Kyai
KH.Syaikhona Kholil: NU founding principal architect Madura cleric, the late Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil a teacher NU clerics since the first batch Hadratus cleric Shaykh As'ad Hasyim to Syamsul Arifin.
Kiai Pragalbo Th .... -1531. Father of:
Kiai Pratanu Panembahan Weak Duwur 1531-1592. Father of: Central Prince 1592-1621. Brother of Prince Mas 1621-1624
Tidjanie KH Ahmad Jauhari, Secretary Rabithah Al-Alam Al-Islami, Mecca is also Chairman of Al Amin Madura Boarding Schools
KH Alawie, chaplain of Sampang
KH. Bahaudin Mudhary, East Java MUI chairman, author of the book Dialogue Divinity of Jesus
KH. Badrie Masduki, NU leaders
Heroes of Madura
PangeranTrunojoyo
Abdul Halim Perdana Kusuma (born in Sampang, Madura, 18 November 1922)
 Prominent Officials of the Republic of Indonesia
Mahfud, MD, Prof. : Chairman of the Constitutional Court
Hadi Purnomo: Chairman of the Board Audit
Herman Widyananda, DR. SE., M.Sc.: Vice Chairman of the Board Audit
Official figures Kabibinet Minister of the Republic of Indonesia
Soemarno Sosroatmodjo for the period 1960 - 1964 and 1965 - 1966, the Minister of the Interior and the Governor of Jakarta:
Rachmat Saleh: Trade Minister
Wardiman Joyonegoro, Prof.DR.Ing. Minister of Education and Culture
R.Hartono, Interior Minister General
Djamaludin Suryohadikusumo, Minister of Forestry
Nur Mahmudi (MCC Chairman), the Minister of Forestry
Ministerial Leaders
Rahmat Saleh: Governor of Bank Indonesia
Majid: Chairman BPS RI
Soedjono Chanafiah Atmonegoro, SH: Attorney General
Figures as Governor
Moch.Noer: Governor of East Java
Soemarno Sosroatmodjo: Jakarta Governor
Prominent in the Military
R.HARTONO, Chief of Staff of the Army (Army Chief of Staff)
Muhammad Arifin, Chief of Naval Staff (KSAL)
Hanafie Asnan, Chief of Staff of the Air Force (KSAU)
Banurusman, Chief of Police (Chief National Police)
Roesman Hadi, KAPLRI
Arie Sadewo, Army Gen., Deputy BIN
Leaders in the World of Education and Research
Ichlasul Amal, Rector of Universitas Gadjah Mada
R. Achmady, Rector of UB (Ichlasul sister Amal)
Afnan Troena, UB Rector
HR Soedarso Djojonegoro, Rector of the State University of Airlangga
M.Iksan Semaoen, Madura State University Rector Tronojoyo
Nurcholish Madjid, Cak Nur (father Bangkalan Madura), Chancellor and Founder Paramadina University
HM Rachimoellah, Professor at the Institute of Technology, November Surabaya:
Mien Ahmad Rifai, Professor of IPB, inventor of more than 100 New Plants) Expert Mr. Mushroom Indonesia (principal investigator)
Iwan Azis Djaya father Aziz, owner Surabaya Post
Iwan Jaya Azis, Professor and Director of the Graduate at Cornell University
Syairul Alim, Professor of Physics College of Gajah Mada
Riswandha Imaw, Professor of Political Science, University of Gajah Mada
Mochtar Mas'ud, Professor of Economics UGM
Educate Junaidi Rachbini, Prof.DR, an economist and politician PAN:
Faisal Ismail, Professor IAIN Yogyakarta and Ambassador in Kuwait
Latif Wiyata (CERIC Univ. Jember - Cultural Anthropologist Madura)
 Prominent Culture / Artists Madura
Abdul Hadi, WM
Kadarisman Sastrodiwiryo
D. Zawawi Imron (sickles Gold)
Sahid Kelana (father Handa Band The Big Kid, Imaniar brothers) Artist Trumpets Madura received his death
Adrian Pawitra, dictionary maker Madura to Indonesian and Indonesian to English Madura
Agus Hadi Sudjiwo / better known Sudiwo Tejo, (born in Jember, East Java, August 31, 1962 Descendants of Madura based personal recognition, many people in this area maduranya)
D Jamal Rahman, Chief Editor of Magazine Culture Horison

by Roostien Ilyas & Yusuf Rizal
Translated by pulaumadura.com

Selasa, 04 September 2012

Suramadu Percepat Perkembangan Ekonomi Madura

0 komentar
PEMBANGUNAN jembatan antar-pulau terpanjang di Indonesia Surabaya-Madura (Suramadu) akan mempercepat perkembangan perekonomian di Madura yang selama ini terisolasi.
Suramadu akan mempercepat perkembangan ekonomi Madura yang terisolasi, kata Staf Ahli Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bapenas) Ngakan Putu Miharjana, acara diskusi Pengembangan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu bersama Forum Eksekutif Ikatan Keluarga Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopermber, di Jakarta, Sabtu (6/6).
Namun, infrastruktur tidak menciptakan ekonomi, hanya membantu mempercepat supaya potensi bisa direalisasikan. Terutama terkait transportasi seperti adanya jembatan akan menurunkan biaya transport, meningkatkan produktifitas, dan pergerakan ekonomi di daerah itu lebih murah. Selain itu, bisa membantu untuk menggali pontensi-pontensi lokal dari Surabaya ke Madura begitu juga sebaliknya.
Menurut dia, potensi Madura yang besar di sektor perkebunan adalah tembakau dan sumber daya alam seperti minyak gas. Pemanfaatan lahan untuk wilayah industri akan terjadi, karena di Surabaya sangat padat dan harganya mahal sehingga kalau dibentuk daerah kawasan industri sudah sulit. Sehingga perkembangan industri itu bisa mengalir ke Madura dengan terbentuk kawasan industri.
Jembatan Suramadu merupakan terpanjang di Indonesia yakni sekitar 5,4 kilometer dibangun dengan biaya kontruksi Rp4,528 triliun sumebr dana dari APBN/APBD dan pinjaman bilateral dari China.
Ia menambahkan kalau suatu daerah yang ekonominya tidak terlalu besar seperti Madura dan dihubungkan Surabaya dengan daerah yang ekonominya sudah maju maka yang dikonsuldasi uang maju. Karena yang maju sudah mempunyai beberapa keunggalan sumber dayanya lebih lengkap.
Setelah mereka maksimal dan jenuh baru bergeser ke samping atau Madura, kecuali pemerintah melakukan intervensi, kalau dilepas dengan mekanisme pasar akan mencari yang lebih menguntungkan.
Menurut dia, secara teori diperkirakan disektor wisata dan belanja yang bergerak lebih cepat justru Surabaya. Pembangunan jembatan, pemerintah sudah menghitung potensi yang ada di Madura, dan kemungkinan lain karena Surabaya perkembangan dibatasi oleh kondisi geografis sehingga dengan adanya jembatan industri diharapkan dapat bergeser ke Madura.
Namun, pengembangan daerah industri membutuhkan beberapa faktor pertama modal, sumber daya manusia apakah sudah siap untuk industrialisasi.
Karena itu, diharapkan dengan dibangunnya jembatan Suramadu atau membuka isolasi Madura akan menguntungkan dari aspek ekonomi. Mereka khawatir dampak negatifnya setelah ada jembatan itu, tapi secara sosial ekonomi lebih banyak positifnya.
Menurut dia, dipastikan ada perubahan aspek lingkungan dan akan terjadi konsentrasi dunia baru. Selain itu, pembangunan jembatan Suramadu untungnya tidak jatuh di lahan produkstif sehingga tidak terjadi konversi.
Menyinggung kondisi tata ruang di daerah Madura terkait adanya jembatan Suramadu, kata dia, harus ada pengkajian lagi, karena pasti akan terjadi perubahan dari pusat-pusat kegiatan di daerah industri.
Harus ada percepatan keseimbangan antara dua daerah itu, karena dikhawatirkan kalau tidak direncanakan dengan matang duduk bersama antara Surabaya-Madura, akan jauh jaraknya.
Masih kurang
Sementara itu, Pakar Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Kresnayana Yahya, mengatakan infrastruktur jalan masih kurang menjadi problema di Madura, sehingga kurang mendukung pengembangan daerah tersebut.
Problem di Madura soal infrastruktur jalan, maka diperlukan pengkajian lagi untuk tata ruang di daerah tersebut, kata Kresnayana.
Menurut dia, akibat infrastruktur yang masih kurang itu, sehingga beaya menjadi lebih tinggi dan Madura penduduknya banyak yang miskin.
Madura yang memiliki sebanyak 14 juta jiwa, tapi hanya empat juta yang masih tinggal dan lainnya tidak betah serta lebih senang merantau ke daerah lain.
Empat kabupaten di Madura, yakni Bangkalan dihuni sekitar satu juta jiwa, Sampang penduduknya sekitar 414.000 jiwa daerah termiskin dibanding kabupaten lainnya sehingga mereka banyak yang merantau. Masyarakat Sampang itu yang paling banyak di luar Madura, karena kondisi ekonominya sangat rendah, katanya.
Selain jalan, Madura pada zaman Belanda itu banyak hutan jati, tetapi sekarang sudah habis. Ada 14 sungai hilang sehingga vegetasi dan seluruh tegakan jati sudah tidak ada.
Karena pohonnya tidak ada sehingga beberapa juta kubik air yang terkandung di dalam tanah di Madura sekarang sudah hilang, kata Krenayana juga sebagai Penasihat Dewan Pembangunan Madura

http://www.pelita.or.id