Pages

 

Senin, 22 April 2013

KH. Kholil Bangkalan | Kilas Balik |PENINGGALAN SYEKH KHOLIL UNTUK UMMAT|

3 komentar


Syekh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.
Syekh Kholil banyak meninggalkan “warisan” yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini diberi nama “Pesantren Al-Muntaha Al-Kholili”.
2.      Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil. Sampai kini (2007) Pesantren Kademangan diasuh oleh Kiai Abdullah Sachal.
3.       Kitab “As-Silah fi Bayanin-nikah”. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.
4.       Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab “I’anatur Roqibin” dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Jember. Jawa Timur.
5.       Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, , kitab berjudul “Al-Haqibah”.

KH. Kholil Bangkalan | Kilas Balik | SYEKH KHOLIL DAN NU |

2 komentar
Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”:
“Murid Kiai Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari, sebagai sesepuh Pulau Jawa waktu itu, sedang memusatkan perhatiannya terhadap rencana berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari tampak resah, beberapa kali memohon petunjuk Allah SWT dengan melaksanakan sholat IstikharahSungguhpun sudah melakukan sholat istikharah berkali-kali, namun petunjuk tak kunjung datang. Rupanya petunjuk Allah terhadap rencana berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi melalui Kiai Kholil.
Pada tahun 1924, ketika petunjuk Allah datang, Syekh Kholil segera memanggil muridnya, As’ad Syamsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.
“As’ad,” kata Syekh Kholil, “Ya, Kiai, “ jawab As’ad santri.
“As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebu Ireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy-’ari,“ pesan Syekh Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha,” pesan Syekh Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu,” pesan Syekh Kholil menutup pembicaraan.
Begitu menerima perintah, As’ad santri segera berangkat ke Tebu Ireng, kediaman KH. Hasyim Asy’ari. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan cukup panjang dengan berjalan kaki yang tentu saja banyak mengalami suka dan duka, akhirnya tibalah di Tebu Ireng. Mendengar kedatangan utusan Syekh Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata benar.
“Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad santri sambil menyerahkan sebuah tongkat. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As’ad santri, “Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil?” As’ad santri lalu membaca :

وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يـمُوْسى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرى (18) قَالَ أَلْقِهَا يـمُوْسى (19) فَأَلْقـهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعى (20) قَالَ خُذْهَا وَلاتَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُوْلى (21) وَاضْمُمُ يَدَكَ إِلى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ آيَةً أُخْرى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيـتِنَا الكُبْرى (23)

Artinya:
“Apakah itu yang ditanganmu, hai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang sangat besar”.

Mendengar ayat-ayat yang dibacakan As’ad santri, hati Kiai Hasyim bergetar. Matanya menerawang. Terbayang wajah Syekh Kholil yang sangat tua dan bijaksana. “Oh ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama itu,” kata Kiai Hasyim Asy’ari terharu. Kiai Hasyim menangkap isyarat berarti gurunya tidak berkeberatan kalau mendirikan sebuah organisasi jam’iyah. Sejak saat itulah keinginan Kiai Hasyim untuk mendirikan sebuah organisasi jami’yyah sudah mantap. Lalu dimusyawarahkan dan dirumuskannya segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi itu. Sungguhpun demikian, hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi jam’iyyah yang dicita-citakan belum berdiri. Sampai suatu saat datang utusan Syekh Kholil ke Tebui Ireng. Memang, dalam pertengahan tahun 1925, Syekh Kholil memanggil As’ad santri kembali menghadap. Seperti satu setengah tahun yang lalu, As’ad santri dipanggil untuk maksud yang sama, yaitu diutus ke Tebu Ireng. Bedanya, kalau dahulu diutus untuk menyerahkan tongkat, maka kali ini untuk menyerahkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Syekh Kholil padaAs’ad santri berupa bacaan salah satu Asma’ul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak tiga kali. Berangkatlah As’ad santri ke Tebu Ireng sebagai utusan Syekh Kholil Bangkalan. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Tentu saja suka dukapun dialami Kiai As’ad dalam tugas ini, seperti yang dituturkan oleh beliau sendiri bahwa dalam perjalanan itu sampai ada yang mengatakan dirinya sebagai orang gila karena berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki. Tetapi ada juga yangmengatakan sebagai seorang wali Allah.
Akhirnya, As’ad santri tiba di Tebu Ireng. Kiai As’ad berkata: ”Sesampainya di Tebu Ireng, saya bertemu dengan Kiai Hasyim dan menyerahkan tasbih sambil membungkuk. Kiai hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.” Tasbih yang diserahkan kepada Kiai Hasyim tidak berubah dari posisi semula sejak dikalungkan oleh Syekh Kholil di Bangkalan. “Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di jalan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya dianggap gila.” Kata Kiai As’ad mengenang perjalanan yang katanya tidak bisa melupakan kejadian itu. Setahun setelah kejadian itu, di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Pada hari itu juga, tangal 31 Desember 1926, jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Kemudian para ulama sepakat memilih KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai ketua umumnya. Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syekh Kholil. Jadi, jelas posisi Syekh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.”[3]
Kemudian, Kiai Kholili bin Abdul Lathif meriwayatkan, sebagaimana yang yang dituturkan oleh Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, bahwa pada tahun 1925, beberapa waktu sebelum Syekh Kholil wafat, Kiai Hasyim Asy’ari bersama beberapa Kiai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Syekh Kholil didalam meresmikan NU. Namun saat itu kesehatan Syekh Kholil sudah sangat lemah, sehingga beberapa saat sebelum kedatangan rombongan Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Kholil menitip pesan kepada Kiai Muhammad Thoha (menantu Syekh Kholil), bahwa sebentar lagi rombongan Kiai Hasyim datang, mereka tidak usah bertemu Syekh Kholil. Melalui Kiai Muhammad Thoha, Syekh Kholil memberi restu atas peresmian NU. Dan memang, pada akhir hayat Syekh Kholil, ketika beliau tidak lagi sehat, beliau jarang sekali menerima tamu. Apabila ada pertanyaan masalah hukum, beliau sering melemparkan kepada Kiai Muhammad Thoha untuk menjawabnya. Maka rombongan Kiai Hasyim Asy’ari langsung menuju Kiai Muhammad Thoha di Pesantren Jangkibuan.

KH. Kholil Bangkalan | Kilas Balik |MURID-MURID SYEKH KHOLIL |

0 komentar

Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”:
“Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :
1.     KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2.      KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3.      KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4.      KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5.     KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6.     KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7.      KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8.      KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9.      KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10.   KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11.   KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12.   KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren  Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13.   KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14.  KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15.   KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16.   KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17.   KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18.   KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19.   KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20.   KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21.   KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22.   KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23.   KH. Zainudin : Nganjuk
24.   KH. Maksum : Lasem
25.   KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26.   KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27.  KH. Munajad : Kertosono
28.   KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29.   KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30.   KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31.   KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32.   KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33.   KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34.   KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35.   KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36.   KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.

KH. Kholil Bangkalan | Kilas Balik | PESANTREN DEMANGAN |

0 komentar

Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubahnama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.
Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: “Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.
Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.
Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil.

KH. Kholil Bangkalan | Kilas Balik | SEPULANG DARI MAKKAH |

0 komentar
Dari yang saya kutip dari share nya Solehhudin , beliau mengulas sejarah tentang KH. Kholil Bangkalan yang menurut saya sangat menarik dan sangat detail. Berikut saya sajikan ulang di situs saya ini.

  1. SEPULANG DARI MAKKAH

Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.
Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).

Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencaripeluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalahorang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.
Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapitetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.
“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”
“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”
Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.

Jumat, 02 November 2012

CAROG Budaya Madura kah ???

1 komentar

Carok, sebuah kata yang berasal dari Bahasa Madura yang selalu indentik dengan kekerasan, pembunuhan sadis, arogansi dan segala sesuatu yang bersifat negatif. Itu merupakan sebuah pemikiran lama yang sekarang harus kita tinggalkan. Karena pada dasarnya Carok Bukan hanya asal berkelahi tanpa sebab musababnya. Nah untuk lebih jelasnya mari kita ulas semua yang berhubungan dengan Carok itu sendiri.
Dari artikel teman yaitu http://www.tretans.com/ saya sangat ingin berbagi dalam mengulas masalah tersebut, karena pada intinya Madura Bukan Carok, untuk menguatkan Fakta itu mari kita pahami artikel di bawah ini.

Carok / Clurit Bentuk Perlawanan Rakyat Jelata

Carok berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah bahasa Madura, Carok bisa diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi…?). Menurut D.Zawawi Imron seorang budayawan berjuluk Clurit Emas dari Sumenep, Carok merupakan satu pembauran  dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura. Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana didalamnya terkandung makna mempertahankan harga diri.

Carok juga selalu identik dengan pembunuhan 7 turunan atas nama kehormatan. Tembeng Pote Matah, Angoan Pote Tolang (dari pada putih mata lebih baik putih tulang=dari pada menanggung malu, lebih baik mati atau membunuh). Dendam yang mengatasnamakan Carok ini bisa terus berlanjut hingga anak cucunya. Ibarat hutang darah harus dibayar darah.

Carok juga dilakukan demi mempertahankan harga diri. Misalnya istri diambil orang, maka carok merupakan putusan atau penyelesaian akhir yang akan dilakukan. Mereka akan saling membunuh satu dengan yang lain. Dan uniknya, bagi keluarga yang mengambil istri orang, maka jika dia terbunuh, tak satupun keluarga korban akan menuntut balas pembunuhan tersebut karena mereka memandang malu jika keluarganya sampai mengambil istri orang. Namun sebaliknya, apabila yang terbunuh adalah pihak yang punya istri, maka yang terjadi akan muncul dendam 7 turunan.

Pelaku Carok merupakan pelaku pembunuhan yang jantan atau sportif. Jika mereka telah membunuh, maka ia akan datang ke kantor polisi dan melaporkan dirinya bahwa ia telah membunuh orang. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab pembunuh kepada masyarakat sekaligus sebagai bentuk memohon perlindungan hukum. Meski beberapa kasus juga kerap terjadi, mereka menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh lawannya, atau bias pula pelaku yang membunuh namun yang masuk penjara adalah orang lain, istilahnya membeli hukuman. Tentunya hal yang terakhir ini harus ada kompensasinya, yakni si pelaku harus memeberikan semua biaya hidup pada keluarga orang yang telah bersedia masuk penjara atas namanya.


Carok juga selalu identik dengan senjata Clurit. Sebuah senjata yang pada awalnya merupakan senjata untuk menyabit rumput. Madura tidak mengenal senjata tersebut. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut.

Menurut R.Abdul Hamid, salah seorang keturunan dari Cakraningrat menerangkan, bahwasannya budaya carok merupakan pengejawantahan yang dilakukan oleh masyarakat madura yang dulunya masih banyak yang memiliki pendidikan rendah. namun seiring perkembangan jaman, dimana banyak guru2 impres yang datang ke madura, Carok pun mulai berkurang.

Hanya Calok yang disebutkan dalam babat Songenep. Calok sendiri merupakan senjata Kek Lesap (1749) yang memberontak dan hampir menguasai semua dataran Madura. Senjata Calok juka pernah dipakai balatentara Ayothaya Siam dalam perang melawan kerajaan lain. Pada masa itu yang popular berbentuk Calok Selaben dan Lancor. Konon senjata Calok dibawa prajurit Madura ke Siam sebagai bagian dari bala bantuan kerajaan Madura dalam pengamanan di tanah Siam.

Menurut Budayawan Celurit Emas D.Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosophy yang cukup dalam. Dari bentuknya yang mirip tanda Tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.

Lantas bagaimana kisah sebenarnya?. Sejak kapan istilah Carok dan Clurit ini dikenal? Hingga sekarang ini masih belum ada sebuah penelitian yang menjurus pada kalimat yang berbau sangar ini. Yang pasti, kalimat ini pertama kali dikenalkan pada masa pak Sakerah seorang mandor tebu di bangil-pasuruan yang menentang ketidak adilan colonial Belanda. Dengan senjata Clurit yang merupakan symbol perlawanan rakyat jelata pada abat 18. Kompeni yang merasa jengkel dengan perlawanan Pak sakerah kemudian menyewa centeng-centeng kaum Blater Madura untuk menghadapi Pak. Sakerah. Namuni, tak satupun dari kaum blater tersebut menang dari pak Sakerah. Yang jadi pertanyaan, benarkah pak sakerah sangat pandai bermain jurus-jurus clurit?..tak ada satu sumberpun yang bias menjawab pasti.

Sejak saat itu, perlawanan rakyat jelata dengan Clurit mulai dikenal dan popular. Namun demikian, senjata Clurit masih belum memiliki disain yang memadai sebagai alat pembunuh. Rakyat Pasuruan dan Bangil ketika itu hanya memiliki senjata yang setiap harinya dugunakan untuk menyabit rumput itu. Sehingga kepopuleran Clurit sebagai senjata perang rakyat jelata makin tersebar. Karena itulah Propaganda Belanda untuk menyudutkan pak Sakerah cukup berhasil dengan menggunakan dua istilah yakni Carok dan Clurit.

Tragedi  Bere’ Temor Populerkan Carok dan Clurit

Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70 an terjadi peristiwa yang membuat bulu kudu berdiri. Sayangnya peristiwa yang memakan korban banyak ini tidak terespos media karena pada masa itu jaringan media tidak seheboh sekarang. Sehingga tragedy yang disebut oleh masyarakat Madura sebagai tragedy Bere’ Temor (barat-timur.Red) sama sekali tak pernah mencuat dikalangan umum, namun hanya dirasakan dikalangan orang Madura sendiri.

Peristiwa tersebut merupakan gap antara blok Madura barat yang diwakili Bangkalan dengan Madura Timur yang diwakili Sampang. Konon peristiwa tersebut cukup membuat masyarakat setempat dicekam ketakutan. Karena hampir setiap hari selalu terdapat pembunuhan. Baik dipasar, jalan, sawah atau dikampung-kampung. Saat itulah istilah Carok dan senjata Clurit makin popular.

Pada masa Bere’ temor tersebut beberapa desa seperti Rabesen barat dan Rabesen Timur, Gelis, Baypajung, Sampang, Jeddih dan beberapa desa lain cukup mewarnai tragedy tersebut. Lama tragedy tersebut terjadi hingga keluar dari Madura, yakni Surabaya dan beberapa daerah lainnya.

Menurut H.Abdul Majid, seorang tokoh Madura asal Beypanjung-Tanah Merah yang dipercaya kepolisian kabupaten Bangkalan untuk menjadi pengaman dan penengah Carok se Madura, menerengkan bahwa Carok jaman dulu adalah perkelahian duel hidup mati antara kedua belah pihak yang bertikai. Carok pada masa itu selalu identik dengan duel maut yang berujung dendam pada keluarga berikutnya.

Hafil M, seorang tokoh Madura juga menerangkan bahwa pada masa itu setiap orang yang hendak bercarok akan melakukan satu ritual khusus dengan doa selamatan ala islam kemudian melekan dan mengasah Clurit mereka serta mengasapinya dengan dupa. Keesokan harinya, mereka semua akan menghiasi mukanya dengan angus hitam.

Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mas Marsidi Djoyotruno, seorang pelaku peristiwa menghebohkan tersebut. Menurutnya, pada tragedy gap antara Madura barat dan Madura timur tersebut selalu membawa kengerian, setiap orang yang bertemu meski tidak kenal akan langsung saling bunuh asal mereka dari dua kubu tersebut.tak peduli mereka bertikai atau tidak. Ini semua dilakukan demi harga diri desanya atau yang lainnya. Masih menurut Mas Marsidi, tragadi tersebut cukup banyak menelan korban jiwa. Bahkan menurut seorang pelaku lainnya Abah Ali juga mengungkapkan, tragedy tersebut 1/2nya mirip kasus Sampit. Korban yang terbunuh menumpuk bagai ikan tangkapan di jaring.

Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolosi 1945. Dimana  resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya.

Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk. Mulai dari Bulu Ajem, Takabuan, Selaben hingga yang lainnya. Dan pada peristiwa tersebut Clurit mulai jadi kemoditi bagi masyarakat Madura.


Pergeseran Budaya Carok

Dewasa ini Carok yang dilakukan oleh saudara-saudara  Madura telah bergeser. Jika dahulu merupakan duel hidup mati dan bisa menyambung terus pada keturunannya hingga ke 7, maka sekarang ini Carok dilakukan secara pengecut. Beberapa kasus yang terjadi justru timbul dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena carger poncelnya dihilangkan, seorang saudara sepupu tega membunuh kakaknya dengan keroyokan(bolodewo-surabaya 12/1/2008). Gara-gara adiknya digoda tetangga, seorang kakak membunuh tetangganya dari belakang (Arimbi-surabaya1999). Gara-gara istrinya yang sudah dicerai 4 tahun silam kawin dengan temannya, mantan suaminya mengeroyok suami istrinya tersebut bahkan membunuh sang mantan istrinya (nyamplungan-surabaya 1993).

Carok yang terjadi sekarang berbeda dengan Carok pada masa kejayaannya. Carok yang dilakukan sekarang sistimnya keroyokan yang tidak berimbang. Kadang 1 lawan 3 atau 1 lawan 5. Celakanya lagi carok sekarang kebanyakan menggunakan pembunuh bayaran yang rela masuk penjara atas nama uang yang cuman Rp 100.000,-.. Contoh lagi yang sangat menggemparkan terjadi di tahun 2005 di desa Galis. Ramai tersiar kabar pembunuhan massal karena kalah jadi calon lurah.

Yang membuat esensi Carok menjadi terlihat pengecut justru terjadi apabila yang membunuh masuk penjara, maka yang akan menjadi incaran pembunuhan pihak korban adalah anaknya yang masih usia belasan atau saudara lainnya yang masih ada hubungan darah meski jauh. Dan ini kerap terjadi. Sekarang seorang tewas, maka dalam tempo 5 jam saudara atau keluarga pihak yang membunuh akan tewas dibantai di tempat lain. Karena itu tak jarang apabila seseorang telah melakukan pembunuhan pada orang lain, yang was-was justru keluarga lainnya, karena takut dibantai pula.

Tamperamental watak suku Madura yang keras dengan kondisi pulau yang panas, hampir penuh dengan perbukitan batu gamping dengan kontur tanah yang nyaris tandus dan sedikit sumber mata air, jelas mempengaruhi kondisi fisik maupun watak keras suku ini. Meski tidak semuanya demikian, namun hampei rata-rata berwatak keras dan bersuara lantang kadang suka ngomong yang ngawur.

Omongan inilah yang kerap jadi pemicu terjadinya Carok. Contoh kasus yang terjadi di Jakarta pada tahun 2006. Seorang Madura yang ditagih uang kontrakannya justru menjawab dengan “nanti saya bayar dengan clurit” membuat tuan rumah geram dan membantainya dengan 16 tusukan dan tewas seketika. Ini semua merupakan awal dari carok.

Meski iklim pesantren cukup membuat suasana watak suku Madura dingin, namun hal itu tak bertahan lama. Karena rata-rata para tokoh agamawan di Madura cenderung diam bila bicara soal harga diri. Hampir 90% masyarakat Madura memilih anaknya untuk di pondokkan ke pesantren ketimbang disekolahkan. Hal ini menurut beberapa sumber juga jadi penyebab tingkat pendidikan yang kurang menimbulkan pikiran pendek masyarakatnya. Tak jarang beberapa tokoh agamawan memberikan semacan azimat atau ijazah kepada mereka untuk keselamatan, celakanya yang terjadi justru adalah keselamatan bagi pembunuhnya bukan bagi target yang akan dibunuh.

Namun demikian, sekarang ini seiring dengan intelektual masyarakat madura yang mulai banyak mengerti karena berpendidikan tingga, menjadikan Carok mulai pudar sedikit demi sedikit. Carok yang awalnya bukan budaya Madura, kemudian bermetamorfosa dengan kondisi dan menjadi lekat dengan tradisi Madura, kini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.


Oto’-Oto’ Sarana Mencari Saudara yang Mimbingungkan

Tingkat pendidikan masyarakat Madura memang dipandang sebagai pemicu utama munculnya Carok yang tidak berkesudahan. Hal ini terbukti di daerah Sumenep. Nyaris masyarakat Madura di daerah ini yang merupakan pusat keraton Sumenep pada masa kerajaan Pajajaran, Tumapel hingga Majapahit tidak terdengar soal perselisihan yang mengakibatkan carok. Di Sumenep rata-rata masyarakatnya memiliki pendidikan yang tinggi disamping pengetahuan agamanya yang merupakan wajib dan harus dikuasai. Tingkat kematian atas nama carok didaerah tersebut nyaris tak ada. Asumsi beberapa ahli kriminalitas mengatakan dan berpendapat sama soal yang satu ini. Meski sama-sama suku Madura, namun orang Sumenep jauh lebih modernt ketimbang daerah lainnya.

Ada budaya lain yang pada awal berdirinya merupakan cara saudara-saudara Blater Madura untuk mengurangi pembunuhan tersebut, yakni Oto’-oto’. Sejenis kumpul-kumpul atau perkumpulan dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang merupakan pengikat dari kumpulan ini.

Pada awalnya budaya ini cukup topcer dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blateran dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.

Sayangnya kegiatan ini kemudian bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI. Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan. Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan baru.

Kaum Blateran juga turut mewarnai politik kepemimpinan di tanah Madura. Hingga ada istilah yang jadi Klebun/Lurah itu harus dari kalangan Blater, kalau tidak maka akan banyak maling. Namun kenyataannya meski kalangan Blater yang menjadi lurah didesa tersebut, masih banyak yang terjadi maling-maling sapi di desa tersebut.

Banyak klebun Blater tersebut justru sibuk dengan remoh/oto’-oto’ dengan blater lainnya sehingga malas mengurus desanya. Bahkan yang paling parah justru terjadi sebagian lurah memelihara maling sapi untuk mencari keuntungannya sendiri.

Dewasa ini kaum blateran sudah mulai sedikit dan lurah dari kaum blateran sudah mulai terkikis. Hal tersebut terjadi oleh karena tingkat pendidikan mereka yang kini mulai memadai. Selain itu peraturan seorang lurah yang harus lulusan SLTA cukup mendongkrak kredibilitas lurah Madura.

Carok Madura Sakera Madura
Sakera Madura

Sistim Pertarungan Ala Carok Madura

Bicara sistim pertarungan ala carok Madura dibutuhkan satu penelitian yang cukup panjang dan melelahkan. Tak hanya penggalian data dari nara sumber yang pernah terlibat langsung, namun juga harus menggali secara langsung kejadian-kejadian di TKP. Sepanjang penelitian yang dilakukan oleh lembaga CV, sistim pertarungan ala carok dewasa ini adalah sebagai berikut :

  1. Mereka akan melakukan satu permainan keroyokan 1:3 atau lebih.

  2. Mereka akan memancing lawannya dengan tusukan pisau cap garpu dari depan. Kadang sengaja untuk ditangkap namun kemudian diperkuat agar saling dorong hingga lawan lengah kadang pula memang ditusukkan secara sungguh-sungguh

  3. Sementara dari belakang bersiap yang lainnya untuk melakukan bacokan mematikan dengan clurit atau calok.

  4. Mereka juga mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai ritual dan azimat dari para kyai.

  5. Yang paling sering adalah bacokan langsung dari belakang kepada lawannya yang sedang lengah.

  6. Nyaris dan sangat jarang terjadi pertarungan carok sistim duel satu lawan satu.

Oleh:
Mas Mochamad Amien: Pengasuh Pencak Silat Madura | CHAKRA-V MMA STYLE sekaligus pemerhati Budaya Madura, Ilustrasi by: gilasih.blogspot.com
http://www.tretans.com/

Rabu, 31 Oktober 2012

PANTAI SLOPENG |Sumenep-Madura|

2 komentar

Ketika anda ingin berlibur di pantai, anda jangan hanya berkiblat pada pantai-pantai di Bali yang terkenal bagus dan indah, Kuta, Sanur, Dream Land, atau pun Tanah Lot. Jangan salah kamu di Madura juga mempunyai banyak tempat wisata yang ber Genre Pantai, yah salah satunya Pantai Slopeng.

 Pantai Slopeng merupakan objek wisata yang cantik di pulau ini. Pasirnya yang putih dan laut yang tenang, dapat mengisi akhir pekan Anda kali ini.

Pantai ini terletak di bagian utara Pulau Madura dan berjarak 21 km dari Kota Sumenep. Selain pasirnya yang putih, pantai ini tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Sehingga memiliki suasana yang tenang dan cocok untuk berakhir pekan.

Pantai Slopeng memiliki hamparan pasir yang membentang sepanjang 6 km. Pasir-pasir putih tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk bersantai di tepian pantai. Uniknya, tidak hanya hamparan pasir putih, tetapi pasir putih di pantainya menggunung. Anda bisa bermain pasir sepuasnya di sini.

Suasana tenang dan nyaman akan Anda dapatkan. Dengan lambaian pohon-pohon kelapa, nuansa pantai yang khas sangat terasa. Puas bersantai, saatnya bermain air. Air laut di Pantai Slopeng berwarna jernih dan bersih.

Arus lautnya pun cukup tenang, jadi tak perlu takut diterpa arus yang kuat. Anda dapat menikmati lautan yang biru dengan pemandangan langit yang luas. Dengan tenangnya suasana, Anda akan betah berlama-lama menikmati pantainya.

Pesona Pantai Slopeng akan bertambah saat senja tiba. Ada sunset yang berwarna keemasan menyinari hamparan pasir putihnya. Bayangan Anda akan terlihat jelas saat berdiri di pantainya dengan disinari cahaya sang senja yang tenggelam. Pemandangan ini harus diabadikan dalam kamera.

Jika lapar, ada beberapa penjaja makanan di pinggir pantainya. Anda bisa memesan soto, sate, hingga air kelapa untuk mengobati rasa lapar. Ingat, jagalah selalu kebersihan di pantai ini.

Akhir pekan kali ini, cobalah untuk mengunjungi Pantai Slopeng. Suasana yang tenang dibalut pantai cantik nan menawan, akan membuat liburan Anda menyenangkan.

Jadi, buat apa jauh-jauh ke Bali, jika pulau kita Madura tercinta ini juga memiliki eksoime pantai yang patut diperhitungkan.


refrensi http://travel.detik.com

Selasa, 30 Oktober 2012

Pondok Pesantren AL-AMIEN |PonPes AL-AMIEN|

0 komentar
Madura merupakan salah satu pulau yang memiliki julukan sebagai Kota santri disetiap wilayah Kabupaten yang ada di dalamnya, hal itu di karenakan dari ke 4 wilayah kabupaten yang ada di Pulau Madura dapat di pastikan memiliki Pondok Pesantren , baik itu mulai pondok kecil maupun pondok yang sudah besar seperti  Ponpres AL-AMIEN PRENDUAN Madura. Seperti yang kita ketahui, pondok ini telah menciptakan dan mendidik banyak alumnus yang sangat berkualitas. Sehingga mampu menjadi khalifah ketika mereka berada di dalam lingkungan masyarakat yang mana nantinya mereka akan hidup bersosial.
Sedikit tentang Ponpes AL-AMIEN PRENDUAN Madura, pondok ini merupakan salah satu Pondok Pesantren di pulau madura. Berpusat di desa Prenduan, Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Desa Prenduan sendiri merupakan desa yang terletak di pinggiran jalan poros propinsi yang menguhubungkan Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Desa Prenduan merupakan desa di pesisir selatan pulau madura, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Sumenep dan 22 km sebelah timur kota Pamekasan.
Saat ini Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN menempati lahan seluas 25 ha yang menyebar di beberapa lokasi di Desa Pragaan Laok dan Desa Prenduan. Di masa-masa yang akan datang, besar harapan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN akan berdiri cabang-cabang baru di daerah-daerah lain yang membutuhkan dan memungkinkan.

AL-AMIEN PRENDUAN sendiri merupakan lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwa, kaderisasi dan ekonomi sekaligus pula menjadi pusat studi Islam. Dengan mengembangkan sistem-sistem yang inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh. Pondok Pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada salah satu golongan atau partai politik apapun. Seluruh aset dan kekeyaan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN telah diwakafkan kepada ummat Islam dan dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut Majlis Kyai. Untuk melaksanakan tugas sehari-hari, Majlis Kyai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi di kantor Pengadilan Negeri Sumenep.

Sejarah BerdiriSejarah berdiirinya, pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama Islam di Prenduan itu sendiri. Karena Kiai Chotib (kakek para pengasuh sekarang) yang memulai usaha pembangunan lembaga pendidikan Islam di Prenduan, juga merupakan Kiai mengembangkan Islam di Prenduan. Usaha Pembangunan lembaga ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari usaha adik ipar beliau, Kyai Syarqowi yang hijrah ke Guluk-guluk setelah kurang lebih 14 tahun membina masyrakat Prenduan dalam rangka memenuhi amanat sahabatnya, Kyai Gemma yang wafat di Mekkah.

Sebelum meninggalkan Prenduan untuk hijrah ke Guluk-guluk, Kiai Syarqowi meminta Kiai Chotib untuk menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, setelah sebelumnya menikahkan beliau dengan salah seorang putri asli Prenduan yang bernama Aisyah, atau yang lebih dikenal kemudian dengan Nyai Robbani. Dengan senang hati Kiai Chotib menerima amanah tersebut.

Beberapa tahun kemudian, sekitar awal abad ke-20, Kyai Chotib mulai merintis pesantren dengan mendirikan Langgar kecil yang dikenal dengan Congkop. Pesantren Congkop, begitulah masyarakat mengenal lembaga pendidikan ini, karena bangunan yang berdiri pertama kali di pesantren ini adalah bangunan berbentuk Congkop (bangunan persegi semacam Joglo). Bangunan ini berdiri di lahan gersang nan labil dan sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar, kurang lebih 200 meter dari langgar yang didirikan oleh Kyai Syarqowi.

Sejak saat itu, nama congkop sudah menjadi dendang lagu lama pemuda-pemuda prenduan dan sekitarnya yang haus akan ilmu pengetahuan. Ngaji di Congkop, mondok di Congkop, nyantri di Congkop, dan beberapa istilah lainnya. Dari congkop inilah sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang ada sekarang ini dan kyai Chotib sendiri ditetapkan sebagai perintisnya.

Tapi sayang sebelum congkop menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, kiai Chotib harus meninggalkan pesantren dan para santri-santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya. Pada hari sabtu, tanggal 7 Jumadil Akhir 1349/2 Agustus 1930 beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sementara putra-putri beliau yang berjumlah 8 orang sebagian besar telah meninggalkan Congkop untuk ikut suami atau membina umat di desa lain. Dan sebagian lagi masih belajar di berbagai pesantren besar maupun di Mekkah. Sejak itulah cahaya Congkop semakin redup karena regenerasi yang terlambat. Walaupun begitu masih ada kegaitan pengajian yang dibina oleh Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian.

Periode Pembangunan UlangSetelah meredup dengan kepergian kyai Chotib, kegiatan pendidikan Islam di Prenduan kembali menggeliat dengan kembalinya kyai Djauhari (putra ke tujuh kyai Chotib) dari Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam yang merupakan putri salah seorang Syeikh di Makkah Al-Mukarromah.

Sekembali dari Mekkah, KH. Djauhari tidak langsung membuka kembali pesantren untuk melanjutkan rintisan almarhum ayah beliau. Beliau melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di tengah-tengah mereka.

Setelah masyarakat Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi nama Mathlabul Ulum atau Tempat Mencari Ilmu. Madrasah ini terus berkembang dari waktu-waktu termasuk ketika harus berjuang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45-an. Bahkan ketika KH. Djuhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau.

Hingga akhir tahun 1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali aman, madrasah Mathlabul Ulum pun semakin pesat berkembang. Murid-muridnya bertambah banyak, masyarakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan Mathlabul Ulum beliau juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Selain membina madrasah, KH. Djauhari tak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20 orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau.

Hingga akhir tahun 1950-an Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasannya. Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi umat Islam yang pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi dampak cukup besar di Prenduan dan Mathlabul Ulum. Memecah persatuan dan persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan. Pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.

Periode Pendirian Pesantren (1952 - 1971)Menjelang akhir tahun 1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib Mathlabul Ulum yang terpecah KH. Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta, teringat pada harapan masyrakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam, membangun Congkop Baru.

Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat kegiatan santri dan para ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1 tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzul Hijjah 1371 dengan upacara yang sengat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan Tidjaniyyin, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus hingga saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang ini. Karena itulah tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari disepakati oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.

Di Majlis Tidjani yang baru berdiri inilah, KH. Djauhari mulai mengasuh dan membimbing santri-santrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan pergi, kemudian datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman akidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan Shorrof.

Pada tahun 1958 Departemen Agama membuka Madrasah Wajib Belajar (MWB) secara resmi dengan masa belajar 8 tahun. KH. Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini, karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di Pondok Tegal, sementara Mathlabul Ulum beliau jadikan Madrasah Diniyah dengan nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang diselenggarakan pada sore hari hingga kini.

Selain mendirikan MWB beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Terutama setelah putra beliau Moh. Tidjani mondok di sana. Didorong oleh obsesinya untuk mendirikan sebuah pesantren besar yang representatif beliau merintis madrasah tingkat menengah di Pondok Tegal. Untuk madrasah yang baru ini beliau secara sengaja memilih nama Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau TMI, tafa’ulan terhadap KMI Gontor yang sangat beliau kagumi. Apalagi setelah melihat hasil yang dicapai oleh putranya, Moh. Tidjani setelah setahun mondok di sana.

Selain mendirikan TMI Majalis KH. Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang diprakarsai oleh beberapa orang pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para pengelolanya. Lalu muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian beliau mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadi yang kemudian menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok.

Pada akhir era 70-an KH. Djauhari begitu kecewa dengan perkembangan umat Islam yang semakin terpecah belah oleh politik dan partai. Sementara, hasratnya yang begitu besar untuk mendirikan pesantren besar yang representatif bagi pengkaderan generasi muda muslim. Untuk itulah putra beliau, Muhammad Idris Jauhari yang baru menyelesaikan pendidikan di KMI Gontor tidak beliau perkenankan untuk melanjutkan studi keluar daerah. Bahkan beliau minta untuk membantu beliau dalam banyak kegiatan, mengajar santri, mengimami sholat, mengisi pengajian, mengurusi pondok dan lain-lainnya. Saat itu, seolah-olah beliau hendak berpamitan sekaligus meninggalkan amanat besar yang harus dilanjutkan oleh putra-putri beliau. Dan memang tidak lama kemudian, pada hari jumat 18 Rabiuts Tsani 1371/11 Juni 1971 beliau berpulang ke rahmatullah dengan tenang di dampingi oleh istri, anak dan keluarga beliau.

Periode Pengembangan Pertama (1971 - 1989)Sepuluh hari sepeninggal KH. Djauhari, masyrakat Prenduan bermufakat untuk menjariyahkan sebidang tanah seluas 6 ha kepada putra almarhum, Moh. Tidjani Djauhari yang baru pulang dari Makkah untuk didirikan di atasnya pesantren yang representatif sesuai dengan cita-cinta almarhum semasa hayatnya. Tanah tersebut 2,5 ha berasal dari hasil pembelian yang harganya ditanggung oleh dermawan Prenduan, Kapedi dan Pekandangan sedangkan sisanya yang 3,5 ha berasal dari jariyah ahli waris almarhum Haji Syarbini yang disponsori oleh putranya Haji Fathurrahman Syarbini.

Di lokasi baru inilah kemudian yang dikembangkan ke arah selatan, barat dan utara sehingga saat ini luasnya kurang lebih 12 ha, yang kemudian dikenal dengan Pondok Al-Amien Komplek II yang sekarang menjadi pusat seluruh kegiatan AL-AMIEN PRENDUAN. Sebelum memulai pembangunan komplek II ini, Kiai Moh. Tidjani Djauhari bersama Kiai Muhammad Idris Juhari melakukan safari panjang ke beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur dalam rangka mohon izin dan doa restu untuk mendirikan sebuah pesantren baru sekaligus melakukan studi banding dalam rangka mencari format yang paling cocok untuk masyrakat Madura yang memang berciri khusus pula.

Namun, Kiai Moh. Tidjani sementara tidak bisa meneruskan proses pendirian pesantren baru ini karena beliau harus segera kembali ke Mekkah untuk menyelesaikan Magisternya yang hampir tuntas. Maka walau awalnya keberatan, beban tanggung jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum diterima oleh Kiyai Muhammad Idris Jauhari. Apalagi ada jaminan kebebasan untuk berkreasi dan berbuat. Lagi pula ini hanya sementara dan di belakang beliau ada banyak pihak yang siap mendukung seluruh kegiatan pondok.

Berdasarkan hasil safari panjang yang dilakukan sebelumnya itulah, konsep tentang Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang baru, yang mencerminkan cita-cita almarhum KH. Djauhari Mendirikan Pesantren Ala Gontor tapi tidak melupakan nilai-nilai tradisi ke Madura-an yang khas dirumuskan. Maka pada tanggal 10 Syawal 1371 atau 03 Desember 1971 dalam sebuah upacara yang sangat sederhana tapi khidmat, bertempat di serambi Bu Jemmar dan dihadiri oleh beberapa anggota panitia dan guru-guru, Kiyai Muhammad Idris Jauhari meresmikan berdirinya pesantren baru, dan beliau sebagai direkturnya.

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau lebih dikenal dengan TMI, begitulah lembaga pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tersebut dinamakan. Pemilihan nama ini sesuai dengan harapan dari almarhum yang menginginkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan serupa dengan KMI Gontor. Di awal perjalanannya lembaga baru ini banyak mendapatkan tentangan dari beberapa pihak yang belum mengerti tentang dasar, acuan dan prinsip sistem pendidikannya yang menjadi acuannya.

Walaupun mendapatkan tantangan dari luar dan dalam, namun proses pendidikan tetap berjalan dengan baik. Wisuda pertama dilaksanakan pada tahun 1978 bersamaan dengan kedatangan KH. Moh. Tidjani Djauhari yang sedang pulang kampung. Bersamaan dengan wisuda tersebut dihelat pula peringatan tujuh tahun TMI yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan wali santri.

Untuk membantu tugas sehari-hari kiai dan guru-guru juga sebagai media latihan berorganisasi maka pada tahun 1975 dibentuklah Organisasi Santri yang bernama OP TMI dan Gudep Pramuka. Yang kemudian bermetamorfosa menjadi ISMI hingga saat ini.

Walaupun mengembangkan pesantren di lokasi baru, Pondok Tegal sebagai sebuah warisan dari almarhum tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah pengelolaan kegiatan pendidikan sehari-hari diserahkan kepada Kiai Musyhab yang merupakan keponakan KH. Djauhari sekaligus menantu beliau. Sedangkan KH. Muhammad Idris Jauhari fokus mengelola TMI di lokasi baru.

Selain mengembangkan Pondok Tegal pada tahun 1973 juga dibuka Pondok Putri I di atas tanah milik kiai Abdul Kafi dan istrinya Nyai Siddiqoh keponakan KH. Djauhari yang memang dikaderkan secara khusus oleh beliau. Pendirian Pondok Putri I ini sendiri diawali oleh datangnya beberapa remaja putri Prenduan kepada Nyai Siddiqoh untuk mondok dan belajar secara khusus kepada beliau. Kedatangan remaja putri lainnyapun berulang di beberapa waktu setelahnya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk membangun lokasi khusus untuk penginapan dan pemondokan mereka. Sehingga sejak tahun 1986 secara resmi Pondok Putri I berdiri dan sejak itu dikenal dengan Pondok Putri Al-Amien I atau Mitri I. Beberapa pengembanganpun dilakukan untuk memajukan Pondok Putri I sebagaimana halnya Pondok Tegal.

Pengembangan yang dilakukan tidak hanya di Pondok Putri I saja, sejak awal didirikannya telah ada hasrat yang besar untuk membangun Pondok Pesantren khusus putri yang bersistemkan TMI. Maka pada awal tahun 1975 dibangunlah SP Mu’allimat namun terpaksa diganti dengan MTs. Putri karena beberapa faktor. Namun pada tahun ajaran 1983/1984 beberapa wali santri datang untuk mengantarkan putrinya di lembaga pendidikan yang bersistem TMI bukan MTs. maupun MA. Obsesi lama tersebutpun muncul kembali ke permukaan. Maka setelah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, tepat pada tanggal 10 Syawal 1405 / 29 Juni 1985 dalam sebuah upacara yang sederhana di salah satu ruang belajar MTs. Pondok Putri I. Dra. Ny. Anisah Fatimah Zarkasyi yang saat itu sedang mudik dari Mekkah meresmikan berdirinya Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) dan KH. Mahmad Aini ditunjuk sebagai direkturnya.

Hingga tahun 1983 TMaI masih menempati lokal MTs Pondok Putri I sampai akhirnya pindah ke lokasi baru, menempati tanah yang dijariyahkan oleh Hajjah Maryam. Di atas tanah seluas 1000 m2 yang terletak di sebelah barat rumah beliau tersebutlah kemudian dibangun lokal pertama milik TMaI. Dari lokal berbentuk L inilah TMaI mulai berkembang setapak demi setapak hingga seperti saat ini.

Alhamdulillah setelah enam tahun menjalankan program pendidikannya, pada tanggal 15 Ramadan 1411 / 31 Maret 1991 TMaI berhasil mewisuda alumni pertamanya sebanyak 11 orang. Kesebalas orang tersebut adalah mereka yang bertahan dari 25 orang saat pendaftaran awal pada tahun 1985.

Di lain sisi, sejak awal pembangunan TMI telah disadari pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi di lingkungan AL-AMIEN PRENDUAN. Utamanya adalah untuk menampung alumni TMI yang berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya namun masih di dalam pondok. Maka disepakatilah untuk mendidikan pesantren tinggi dengan nama Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) Fakultas Dakwah dengan KH. Shidqi Mudzhar sebagai dekannya dan KH. Jamaluddin Kafie sebagai pembantu dekan sekaligus pelaksana harian.

Selanjutnya ketika Menteri Agama, Bapak Munawwir Syadzali, MA berkunjung ke Al-Amien pada tanggal 04 Dzulhijjah 1403 / 11 September 1983 beliau diminta untuk meresmikan Pesantren Tinggi Al-Amien. Dan sesuai dengan peraturan pada masa itu Pesantren Tinggi diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) yang pada 24 Rajab 1402 / 29 Januari 1992 melepas wisudawannya sebanyak 43 orang.

Periode Pengembangan Kedua (1989-sekarang)
Tanggal 27 Januari 1989, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kembali dari Mekkah Al-Mukarromah. Kemudian disusul oleh KH. Maktum Jauhari, MA pada tahun 1990 yang baru saja menyelesaikan Magisternya di Al-Azhar Cairo. Sejak saat itulah Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN memasuki masa pengembangan baru. Pengembangan-pengembangan semakin cepat berjalan karena sinergi yang semakin solid.

Pengembangan pertama yang dilakukan adalah Pendirian Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA). Pendirian MTA ini didasari pada obsesi lama untuk mencetak generasi Hafadzah Al-Qur’an yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat. Maka pada tahun 1990 pendirian MTA dimulai dengan membuka kembali program Jamaah Tahfidz di kalangan santri senior TMI. Lalu kemudian pada pertengahan bulan Sya’ban 1411 / Februari 1991 KH. Muhammad Idris Jauhari bersama KH. Ainul Had dan KH. Zainullah Rais berkeliling ke beberapa Ma’had Tahfidzil Qur’an di Jawa Timur, Jogjakarta hingga ke Jawa Tengah untuk studi banding dan mencari pola serta sistem yang paling representatif bagi Ma’had Tahfidzil Qur’an Al-Amien.

Dengan perantara Syekh Bakr Khumais, seorang dermawan Arab Saudi Syekh Ahmad Hasan Fatihy bersedia menyediakan dana yang cukup untuk membuka lembaga khusus bagi MTA yang terpisah dengan TMI. Maka pada dengan segala persiapan yang matang pada tanggal 12 Rb. Awal 1412 / 21 September 1991 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA meresmikan berdirinya MTA dengan jumlah murid pertama sebanyak 28 orang.

Pengembangan kedua adalah pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Hal ini telah terobsesi sejak lama, sejak beliau masih berada di Mekkah Al-Mukarromah. Beliau menginginkan di tengah-tengah kampus Al-Amien nantinya dibangun sebuah masjid yang besar, megah, indah dan multifungsi. Maka sepulang dari Mekkah beliau pun membentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Segera setelah panitia dibentuk pembangunan masjid tersebut dimulai. Segala daya dan upaya dilakukan untuk mensukseskan pembanguan masjid besar ini. Untuk teknis pembangunan PT. Adhi Karya dan Pondok Modern Gontor pun di gandeng.

Pembangunan masjid besar seluas 48 x 40 meter ini berjalan secara bertahap dari tahun ke tahun. Proses pembangunannya kadang berlari, merangkak bahkan merayap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang ada. Hingga akhirnya seluruh bagian utama masjid tersebut selesai tepat bersamaan dengan perayaan kesyukuran 45 tahun berdirinya AL-AMIEN PRENDUAN. Pada perhelatan akbar itu pula Menteri Agama meresmikan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN.

Pengembangan selanjutnya adalah peningkatan status Sekolah Tinggi Dakwah Al-Amien (STIDA) menjadi Sekolah Tinggai Agama Islam Al-Amien (STAI) dengan dibukanya Jurusan Pendidikan Agama (Tarbiyah) pada tahun 1995. Lalu pada tahun 2001 status STAI ditingkat kembali menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) dengan dibukanya 3 jurusan baru, Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), Jurusan Tafsir Hadis (Ushuluddin) dan Jurusan Akidah Filsafat (Ushuluddin).

Memasuki tahun 2002, AL-AMIEN PRENDUAN memasuki usianya yang ke 50. Untuk menyambut usia emas ini digelar peringatan Kesyukuran Setengah Abad Al-Amien dengan aneka kegiatan yang berlangsung selama 20 hari lamanya. Pada peringatan ini pula diresmikan MI Ponteg sebagai MI percontohan oleh Mendiknas RI. Beberapa pengembangan terus dilakukan, diantaranya adalah pendirian MTA Putri pada tahun 2006.

Setelah 18 tahun berjuang mengembangkan AL-AMIEN PRENDUAN, pada tanggal 15 Ramadhan 1428 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA wafat dan meninggalkan amanah pengembangan AL-AMIEN PRENDUAN kepada KH. Muhammad Idris Jauhari dan kiai-kiai dan guru-guru yang lain. Patah tumbuh, hilang berganti. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana perkembangan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN sejak didirikannya hingga saat ini.
Semoga dengan adanya ulasan artikel tentang Ponpres AL-AMIEN PRENDUAN Madura ini , kami bisa memberikan refrensi bagi para pembaca untuk Program Pendidikan bagi Putra maupun Putri nya . Sehingga mampu menjadi Sosok yang di harap kan mampu berguna dan menjadi panutan bagi orang tua, bangsa, dan negara serta seluruh umat muslim di dunia secara umum.
refrensi http://www.pondokpesantren.net